Perkawinan Silahisabungan dengan Pinggan Matio

adat_batakSetelah Raja Parultop tiba di Balla, ia disambut istrinya dan anak–anaknya, dengan rasa gembira. Mereka tercengang melihat Ikan Batak yang begitu banyak,lalu bertanya: “Dari mana Ihan Batak yang banyak ini? Biasanya Bapak membawa daging Rusa atau burung sekarang jadi lain,“ kata istrinya. Raja Parultop menerangkan pertemuannya dengan Silahisabungan dan menjelaskan perjanjian mereka tentang rencana perkawinan puterinya dengan Silahisabungan.

Keluarga Raja Parultop merasa gembira mendengar berita itu, lalu mempersiapkan peralatan untuk perkawinan puterinya. Setelah tiba hari yang ditentukan berangkatlah Raja Parultop bersama rombongannya ke Silalahi dan setelah tiba di atas bukit Laksabunga, Raja Parultop menyalakan api tanda bahwa mereka sudah datang. Melihat asap api itu, Silahisabungan pun menyalakan api tanda bahwa ia telah siap menyambut kedatangan rombongan Raja Parultop.

Silahisabungan menyambut rombongan Raja Parultop di tepi sungai yang agak dalam airnya. Raja Parultop bertanya dalam hati, mengapa Silahisabungan menyambut kami di sungai yang agak dalam airnya ini? Kemudian Silahisabungan berkata: “Tulang suru hamu ma boru muna i sada–sada ro tu bariba on, asa hupillit na gabe par sinondukhu.“ (Paman, suruhlah putrimu menyeberang satu–persatu supaya kupilih yang menjadi istriku). Baru Raja Parultop mengerti mengapa Silahisabungan menyambut mereka ditepi sungai itu, lalu menyuruh puterinya satu–persatu menyeberangi sungai itu, dengan menjunjung bakul berisi tipa–tipa. Dari mulai puteri pertama sampai putri ke enam, rupanya cantik rupawan, rambutnya bagaikan mayang terurai tetapi satupun tidak mengenai di hati Silahisabungan. Baru putri ke tujuh yang rupanya agak jelek dan mata agak kero, Silahisabungan melompat menyambut putri Raja Parultop dan berkata: “inilah pilihanku Tulang, menjadi istriku, mudah–mudahan Tulang merestui dan Mulajadi Nabolon memberkati semoga kami menjadi rumah tangga yang bahagia dan mempunyai keturunan yang banyak, “ katanya.

Sebelum diberkati, Raja Parultop masih menanya Silahisabungan lalu berkata: “Mengapa kau pilih putri bungsu ini? Perawakannya agak pendek dan rupanya pun jelek, padahal kakaknya semua cantik dan badannya genit–genit.“ Kemudian Silahisabungan menjawab: “Tulang, memang kakak yang enam orang itu semuanya cantik rupanya, tetapi tidak merasa malu tadi menarik sarungnya ke atas lututnya sewaktu menyeberangi sungai ini,“ katanya dengan halus. Sebenarnya gadis yang enam orang itu dilihat Silahisabungan dapat berjalan di atas air karena mereka adalah manusia jadi–jadian ( jolma so begu) yang dibuat Raja Parultop untuk menguji kedukunan Silahisabungan. Tetapi hal itu tidak dinyatakannya supaya jangan mempermalukan mertuanya. Sejak itulah sungai itu bernama “Binanga so Maila“.
Raja Parultop dan istrinya merestui dan memberkati anak menantunya, lalu berkata: “Goarmu ma borukku Pinggan Matio boru Padangbatanghari, anggiat ma tio parnidaan dohot pansarianmu tu jolo ni ari. Asa boru parsonduk bolon ma ho si panggompar si panggabe, partintin na rumiris parsanggul na lumobi, paranak so pola didion, parboru so pola usaon. Panggalang panamu, si patuat na bosur, si panangkok na male. Ho pe hela na borju, goarmu Silahisabungan, sabungan ni hata sabungan ni habisuhon dohot sabungan ni hadutoan. Nunga dipatuduhon ho habisuhon dohot hadatuonmu na mamillit parsinondukmon, partapian simenak-enak maho perhatian so ra monggal parninggala si bola tali. Asa saut ma ho gabe raja bolon jala na tarbarita, pasu-pasuon ni Mulajadi Nabolon,” katanya.

Setelah selesai pemberkatan, rombongan raja Parultop kembali ke Balla, tinggalah Silahisabungan dengan pinggan Matio boru Padangbatanghari memulai hidup baru dan membuka kampung bernama Huta Lahi. Berselang sembilan bulan, rasa rindu pun mulai bergelora untuk berjumpa dengan orang tuanya. Diajaknya Silahisabungan pergi ke Balla mengunjungi keluarga. Silahisabungan yang sangat sayang kepada isteri tercinta mengabulkan dengan senang hati.

Pada suatu hari pergilah silahisabungan Bersama Pinggan Matio boru Padangbatanghari ke kampung mertuanya di Balla. Sewaktu mendaki bukit Silalahi, isterinya yang sudah hamil tua mulai merasa dahaga. Rasa penat mulai terasa, sehingga mereka mengaso di lereng bukit yang terjal. Rasa haus Pinggan Matio mulai mendesak dan karena capeknya ia bersenandung dengan sedih: “Loja ma boruadi mamboan tua sian Mulajadi, mauas ma tolonan ndang adong mangubati. Jonok do berengon sillumalan na so dundung on hi, boha do parsahathu tu huta ni damang parsinuan, dainang pangintubu i, “ katanya. (Sudah lelah aku membawa kandungan, rasa haus tak ada mengobati. Nampak dekat air danau tetapi tak boleh terjangkau, bagaimana aku sampai di kampung orang tuaku).

Mendengar keluhan istriku, Silahisabungan mengambil Siorlombing (tombak) dari kantongannya, lalu berdoa kepada Mulajadi Nabolon agar diberikan air penghidupan (Mual si Paulak Hosa) karena Pinggan Matio merasa haus, kemudian Silalahisabungan menancapkan Siorlombingnya ke dinding batu terjal dan keluarlah air, lalu diminum Pinggan Matio sepuas-puasnya. Air itulah yang disebut ”Mual si Paulak Hosa,”yang terdapat di lereng bukit Silalalahi Nabolok. Setelah rasa haus hilang dan tenaga mulai pulih, mereka meneruskan perjalanan ke kampung mertuanya di Balla.

Kedatangan Silalahisabung dan Pinggan Matio disambut keluarga Raja Parultop dengan gembira apalagi setelah dilihat putrinya sudah hamil tua.

Karena Pinggan Matio sudah hamil tua, mertua Silahisabungan meminta agar putrinya tinggal di Balla menunggu kelahiran anaknya, karena Silalahi tidak ada teman mereka membantu.

Setelah beberapa bulan mereka tinggal di Balla, Pinggan Matio melahirkan seorang anak laki–laki. Silahisabungan merasa gembira dan bersyukur karena dia sudah menjadi seorang ayah. Begitu juga Raja Parultop dan istrinya merasa berbahagia karena sudah ada cucu dari putrinya Pinggan Matio. Mereka berencana untuk mengadakan perhelatan besar sambil membuat nama cucunya itu. Rencana itu diberitahukan kepada menantunya Silahisabungan, yang disambut dengan senang hati.

Raja Parultop mengundang raja–raja dan penduduk negeri untuk menerima adat dari Silahisabungan sambil menobatkan nama cucu yang baru lahir. Pada pesta perhelatan itu Raja Parultop berkata: “Bapak dan Ibu yang kami hormati, sudah lebih satu tahun puteri kami Pinggan Matio berumah tangga dengan Silahisabungan dan telah dianugerahi Tuhan seorang anak laki–laki. Selama ini kami merasa ragu–ragu karena belum terlaksana adat yang berlaku. Hari ini tibalah saatnya anak menantu kami membayar adat sekaligus memberi nama cucu yang baru lahir dan menobatkan ayahnya menjadi raja.”

Kemudian Raja Parultop mengatakan: “Nunga loho raja, jalanunga loho roha, hubaen ma goar ni pahompu on Si Liho Raja.” ( Sudah berkumpul semua Raja, sudah bulat dan puas pikiran = loho roha kuberikan nama cucuku ini Si Liho Raja), katanya. Beberapa minggu setelah pesta, Raja Silahisabungandengan istrinya Pinggan Matio kembali ke Silalahi Nabolak. Putera sulung Si Loho Raja kemudian dijodohkan (dipaorohan) dengan putri tulangnya Ranim Bani boru Padangbatanghari.

Selama dua tahun mereka tidak pernah lagi datang ke Balla. Karena sudah dua tahun tak pernah datang Raja Silahisabungan dan Pinggan Matio ke Balla, rasa kangen dan rindu Raja Parultop timbul lalu berkata kepada istrinya: “Sitingkir jolo borunta tu Silalahi, aku sudah rindu,” katanya. Bertepatan dengan kehadiran Raja Parultop di Silalahi Pinggan Matio, melahirkan anak kedua seorang laki–laki. Kemudian anak itu diberi nama Tingkir Raja atau Tungkir Raja.

Pada suatu ketika Raja Silahisabungan bertukang membuat tempat tidur (rusbang) dari kayu bulat yang disebut “Sondi”. Setelah tempat tidur selesai dikerjakan, Pinggan Matio melahirkan anak ketiga seorang laki–laki, yang kemudian diberi nama Sondi Raja. Raja Silahisabungan nampak bergembira karena telah mempunyai tiga orang anak laki–laki, tetapi Pinggan Matio terasa kurang bergairah karena belum diberikan Tuhan anak perempuan.

Hati Pinggan Matio yang gundah gulana diperhatikan Raja Silahisabungan, lalu ia pergi bersemedi ke Gua Batu di atas Huta Lahi. Dia memohon kepada Mulajadi Nabolon agar mereka diberikan seorang anak perempuan. Idaman Pinggan Matio dan Permohonan Raja Silahisabungan dikabulkan Mulajadi Nabolon. Pinggan Matio melahirkan anak keempat seorang perempuan, lalu ia berkata: “Nga gabe jala mamora ahu, hubahen ma goar ni borunta on Deang Namora,” ( Sudah bahagia dan kaya aku, kuberikan nama Puteri kita Deang Namora =Kaya) katanya kepada Raja Silahisabungan dengan Suka cita. Raja Silahisabungan juga merasa bahagia karena permintaannya terkabulkan.

Kemudian Pinggan Matio melahirkan anak kelima, seorang anak laki–laki. Pada waktu kelahiran anak kelima ini, Raja Silahisabungan baru mengganti atap rumah yang terbuat dari kayu butar. Oleh karena itu mereka membuat nama anak kelima ini Butar Raja atau Sidabutar/Sinabutar.

Pada waktu kelahiran anak keenam, Raja Silahisabungan sedang berada di pulau Samosir untuk mencari tanah kosong menjadi milik keturunannya kelak. Tanah itu kemudian disebut Luat Parbaba. Setelah Raja Silahisabungan kembali dari seberang (bariba) dijumpainya telah lahir seorang anak laki-laki. Karena ia baru tiba dari bariba (seberang) maka diberilah nama anak itu Dabariba Raja atau Sidabariba.

Kelahiran anak Raja Silahisabungan yang ketujuh ditandai dengan terjadinya peristiwa alam. Pada saat Pinggan Matio melahirkan, turun hujan lebat sehingga terjadi tenah longsor (tano bongbong) di Silalahi Nabolak. Karena tano bongbong (tanah longsor) itu mengagetkan Raja Silahisabungan dan Pinggan Matio, maka mereka membuat nama laki–laki yang baru lahir itu Debong Raja = Debang Raja atau Sidebang.

Anak Raja Silahisabungan yang kedelapan bernama Batu Raja atau Pintu Batu. Pada waktu kelahiran anak bungsu Pinggan Matio ini, Raja Silahisabungan sedang bersemedi di gua batu di atas Huta Lahi. Saat melahirkan itu, Pinggan Matio merasa lelah karena faktor usia, sehingga mengerang minta bantuan. Loho Raja yang melihat ibunya mengerang pergi mamanggil Raja Silahisabungan. Raja Silahisabungan buat obat salusu (obat penambah tenaga), Boru Pinggan Matio melahirkan seorang anak laki–laki. Karena Silahisabungan dipanggil dari Gua Batu maka diberilah nama anak itu Baturaja atau Pintubatu. Dengan kelahiran Baturaja maka anak Raja Silahisabungan dari Pinggan Matio boru Padangbatanghari berjumlah delapan orang, tujuh orang anak laki–laki dan seorang puteri.

Semenjak kelahiran Baturaja, Raja Silahisabungan selalu manandanghon hadatuon (bertanding ilmu) ke Samosir, Simalungun, dan Tanah Karo.

(sumber: http://www.silahisabunga.com)

7 Tanggapan

  1. oh gitu rupanya cerita nenek moyang kita raja silahisabungan…tapi ini baru separuh dari kehidupan silahisabungan, karena setelah itu di nikah lagi katanya di daerah balige. di tanah karo dan si malungun….klu keturunanya ada nggak ia yang play boy macam oppung kita dulu???

    • Ada, Sinabutar 2 orang Istrinya, sehingga lahirlah anaknya dari istri pertama Sinurat dan Nadapdap, dan dari istri ke dua Lahirlah Dolok Saribu

  2. Njuah-juah Horas!

    Syalom dan Salam kenal!
    Saya marga Antony Matanari, asal dari Kuta BALNA pegagan julu V, mohon ijin ikut berkomentar.!

    Baik sekali ceritranya menarik, dan bahasanya sangat sejarawan banget & santun.

    Tapi alangkah baiknya jika penulis dapat menjelaskan dan bisa menunjukkan dalam peta bahwa desa “BALLA” itu di tanah pakpak persisnya dimana, dan sekarang desanya itu masih ada atau tidak.?

    Jikalau desanya masih ada sampai sekarang, bukan kah gomparan ni Raja i Raja Silahisabungan rindu untuk jiarah ke huta ni ompungna boru, kemudian keturunan tulangnya pasti menyambutnya dengan adat kebiasaan yang sudah dijalin kurang lebih 450 s/d 500 tahun yang lalu.

    Kenapa saya katakan demikian….?
    Tidak lain karena saya putra pakpak asli dari tanah Dairi, dan saya sudah usia 53 tahu sampai sekarang, namun saya tidak pernah tahu dipojok mana itu itu letaknyaDesa “BALLA”. yang saya tahu hanya ada desa “BALNA”. Letak geografisnya adalah di kABUPATEN dAIRI, Kecamatan Sumbul Pegagan, dan desa tersebut sekarang ini dinamakan ” KUTA BALNA SIKABNGKABNG PEGAGAN JULU V. Dan desa tersebut adalah hak ulayat Maga Matanari. Maga matanari disebut sebagai “TAKAL AUR =RAJA HUTA”

    Dari dulu hingga sekarang secara adat diakui oleh semua marga dan Kuta (parhutaan) yang sudah diserahkan oleh marga Matanari ke marga lain, seperti : Kuta Sagalaraja, Kuta Pengguruun, Kuta Namorih, Kuta Sirencer, Kuta Tele, Kuta Batuganda, Kuta sisolu-solu, Kuta Sibereng, Kuta Buluh ujung, Kuta Pergambiren, Kuta Gugung, Kuta Kabo, Kuta Pernatiin, dllsb yang menghuni beraneka marga dari suku Batak.

    Ok, terimakasih buat penulis dan penyedia sarana ini dalam room ini.

    Mohon maaf bila ada yang berkenaan bagi seluruh pembaca.

  3. Kereeen. di zaman ini ternyata masih ada juga saudara satu pomparan yang tau kisah cerita Perkawinan Ompu Raja Silahisabungan. Walaupun ada sedikit kekurangan. It’s Ok itu, mantapss ito. Smg kemudian hari bisa sangat sempurna. GBuAll.

  4. Horas, Njuah-juah!

Tinggalkan Balasan ke dunkom Batalkan balasan