Mual Pansur Sipitu Dai (Pancuran Tujuh Rasa)

Adalah satu air dengan tujuh buah pancuran yang masing-masing, pancuran mempunyai tujuh sumber mata air, yang masing-masing mengalir sehingga bergabung menjadi satu aliran dalam satu bak yang panjang, kemudian dari bak yang panjang itu dibuat pancuran yang tujuh itu menjadi tujuh macam pula seperti pada sumber mata airnya padahal telah bergabung dalam bak yang panjang.

Air ini disebut “PANSUR SIPITU DAI” (Pansur Tujuh Rasa), karena pancuran yang tujuh itu mempunyai tujuh macam rasa, ketujuh pancuran ini, dibagi menurut status masyarakat yang ada di Limbong yaitu :

  1. Pansuran ni dakdanak yaitu tempat mandi bayi yang masih belum ada giginya
  2. Pancuran ni sibaso yaitu tempat mandi para ibu yang telah tua, yaitu yang tidak melahirkan lagi
  3. Pansuran ni ina-ina yaitu tempat mandi para ibu yang masih dapat melahirkan
  4. Pansur ni namarbaju yaitu tempat mandi gadis-gadis
  5. Pansur ni pangulu yaitu tempat mandi para raja-raja
  6. Pansur ni doli yaitu tempat mandi para lelaki
  7. Pansur Hela yaitu tempat mandi para menantu laki-laki yaitu semua marga yang mengawini putri marga Limbong

KEANEHANNYA :

  1. Dari tujuh macam rasa yang dari pancuran itu tidak ada satupun seperti rasa air biasa
  2. tujuh macam rasa bersumber dari tujuh mata air telah bergabung dalam satu Labuan (Bak Panjang) tetapi anehnya rasa air yang tujuh macam itu, dapat terpisah kembali, sehingga rasa air yang mengalir melalui pancuran yang tujuh itu menjadi tujuh macam rasanya.
  3. selama bergabung dalam labuan (bak panjang), rasa lainnya hanya satu macam saja, walaupun sumbernya tujuh macam dan keluarnya tujuh macam
  4. apabila air ini diambil dan dibawa ke tempat jauh dan tidak direstui oleh penghuni alam yang ada di tempat itu, maka airnya akan menjadi tawar seperti air biasa.
  5. Mandi di pancuran ini, dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
  6. apabila ada orang jatuh saat mandi di Pancuran ini, kalau pada saat jatuh kepalanya ke arah hulu, maka ia akan jatuh sakit, tetapi kalau kepalanya ke arah hilir, maka ia akan meninggal dunia.
  7. di pancuran ini, orang dapat berdoa kepada Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Mah Esa) memohon kesembuhan, memohon agar murah rejeki dan memohon bermacam keinginan lainnya, dan ternyata sudah banyak orang yang telah berhasil memperolehnya.

Bagian  II

Pancur Tujuh Rasa adalah melambangkan angka sakti atau bilangan sakti, karena bilangan tujuh itu adalah bilangan sakti dalam kehidupan ritual bagi suku Batak, dan juga melambangkan beberapa macam keadaan suku Batak.

Adapun berbagai macam keadaan yang dilambangkan Pancur Tujuh Rasa ini ialah :

1. Menurut ahli perbintangan Batak, bahwa dunia ini beserta isinya, di ciptakan oleh Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) dalam tujuh hari yaitu mulai dari artia hingga samirasa yaitu hari pertama hingga hari ke tujuh, menurut penanggalan Batak jumlah hari penciptaan yang tujuh inilah yang merupakan dasar untuk dikembangkan menjadi nama-nama hari yang tigapuluh untuk mengikuti peredaran bulan mengelilingi bumi selama satu bulan. Jumlah hari yang tujuh itu, sama dengan jumlah hari yang pergunakan kalender Internasional, yang lazim disebut dengan istilah seminggu, namun perbedaan antara kalender Internasional dengan kalender penanggalan Batak ialah : kalender Internasional berpedoman kepada siang, yakni berdasarkan peredaran matahari, yang dimulai dari tengah malam yaitu jam 0.00 sampai dengan yakni jam 0.00. Tetapi penanggalan Batak berpedoman kepada malam yang berdasarkan peredaran bulan yaitu dimulai dengan jam 18.00 (jam 6.00 menjelang malam) sampai dengan jam 18.00.

Adapun nama-nama hari yang tujuh itu, kemudian dikembangkan menjadi tiga puluh, mengikuti peredaran bulan dalam satu bulan, adalah sebagai berikut :

Artia (hari pertama, senin), suma (hari kedua selasa), anggara (hari ketiga rabu), muda (hari keempat kamis), boras pati (hari kelima Jumat), singkora (hari keenam sabtu), samisara (hari ketujuh minggu), artian ni aek, suma ni mangodap, anggara sampulu, muda ni mangodap, boraspati ni tangkop, singkora purnama, samisara purnama, tula, suma ni holom, anggara ni holom, nada ni holom, singkora mora turunan, samisara mora turunan, artian ni angga, suma ni mate, anggara ni begu, muda ni mate, boras pati na gok, singkora duduk, samisara bulan mate, hurung, ringkar.

Kalender Internasional menghitung hari 356 hari atau 12 bulan dalam setahun, tetapi penanggalan batak menghitung hanya 355 hari atau 12 bulan namun sekali 3 (tiga) tahun, ada bulan ke-13 yang disebut bulan lamadu.

Dalam kehidupan suku Batak ada ahli perbintangan yang namanya disebut “Datu Siboto Ari”. Datu Siboto Ari ini dapat mengetahui dan menentukan, hari yang baik, hari yang sial, hari yang naas, hari yang subur dan hari-hari lainnya. Datu Siboto Ari (ahli perbintangan Orang Batak) yang dapat mengetahui dan menentukan mana hari baik dan mana hari sial, bukanlah ilmu ramal-meramal tetapi sesuai dengan ilmu pengetahuan yang mereka kuasai maka mereka dapat membaca dan mengartikan situasi yang akan terjadi pada saat-saat tertentu, atau hari-hari tertentu sesuai dengan pengaruh dan hubungan letak dan posisi bulan pada garis edarnya dan akibatnya terhadap manusia.

Jadi jelaslah bahwa ilmu perbintangan Batak itu bukanlah ilmu ramal meramal, melainkan adalah ilmu pengetahuan alam atau ilmu hukum alam. Menurut ilmu perbintangan batak bahwa manusia itu sangat erat kaintannya dengan alam semensta, sehingga letak dan posisi bulan pada garis edarnya, ini sangat berpengaruh dan mempunyai akibat tertentu, terhadap kehidupan manusia maka oleh karena itu untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu, harus dipilih hari yang baik. Para Datu Siboto Ari (Ahli Perbintangan Batak), pada umumnya mereka menuliskan ilmu pengetahuan perbintangan itu pada sepotong bambu yang disebut “Bulu Parhalaan”.

Didalam bulu parhalaan ini dituliskan daftar hari baik dan hari sial serta hari-hari lainnya, sesuai dengan pengaruh dan akibat letak posisi bulan pada garis edarnya terhadap manusia yang berhubungan dengan bentuk pekerjaan yang akan dikerjakan dan juga disesuaikan dengan tingkatan status orang yang akan mengerjakan pekerjaan itu. Hanya sayang Bulu parhalaan itu, sangat sederhana sekali, jadi masih memerlukan usaha kita sekarang untuk menyempurnakannya, sehingga menjadi ilmu yang sangat bermanfaat luas dalam kehidupan manusia.

2. Pansur Sipitu Dai (Pancur Tujuh Rasa) juga melambangkan bahwa penguasa Alam Semesta, bersemayam pada tingkatan langit yang Ketujuh, dan pada lapisan awan yang ketujuh. Hal ini dapat kita lihat dalam Tonggo-tonggo si Raja Batak (Doa Siraja Batak) sewaktu si Raja Batak mengadakan upacara persembahan menyembah Debata Mulajadi Na Bolon di Puncak Dolok Pusuk Buhit, dengan Tonggo-tonggo (Doa sebagai berikut) :
“Hutonggo hupio hupangalu alui ma hamu ompung, Debata Mula Jadi Nabolon, dohot tamu ompung Debata Natolu, natolu suhu natolu harajaon, namanggomgomi langit dohot tano, dohot jolma manisia”. (Aku berdoa, menyebutkan dan berseru padamu Tuhan, Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan dengan Tiga nama Tuhan dengan kekuasaan, tiga kerajaan, yang menguasai langit bumi serta segenap isinya).

Mula ni dungdang mula ni sahala, Siutung-untung nabolon, silaeng laeng mandi, Siraja inda-inda, siraja indapati. (Awal dari “dungdang” awal dari kharisma, Siuntung-untung na bolon, burung layang-layang, Siraja inda-inda, Siraja idapati).

Napajungjung pinggan, dihos ni mataniari, Nahinsa-hinsa suruon, nagirgir mangalapi, nasintak sumunde-sunde, nauja manotari, siboto unung-unung, nauja manangi-nangi. (Yang menjingjing piring di tengah teriknya matahari, yang gampang disuruh, dan mudah jemput, yang maha tau apa yang dibicarakan, serta yang peka).

Napabuka-buka pintu, napadung-dang dungdang ari, napasorop-sorop ombun, di gorjok-gorjok ni ari, parambe-rambe nasumurung, sitapi manjalahi, napatorus-torus somba, tu ompunta Mulajadi. (Yang membuka pintu, yang menentukan hari, yang meneduhkan hari, diatas teriknya panas mata hari, menenangkan yang panas hati, dan menunjukkan jalan yang baik, yang meneruskan doa kepada Tuhan).

Tuat ma hamu ompung, sian ginjang ni ginjangan, sian langit ni langitan, sian toding banua ginjang, sian langit na pitu tingka, sianombun na pitu lampis, sian bintang na marjombut, tu lape-lape bulu duri, sian mual situdu langit, tu gala-gala napul-pulan, hariara sangka mandeha, baringin tumbur jati, disi do partungkoan ni ompunta Mulajadi. (Datanglah Engkau ya Tuhan, dari tempat yang Maha Tinggi dari atas langit, serta alam semesta. Dari langit yang ketujuh dan dari awan yang ketujuh lapis, “sian bintang najorbut, tu lape-lape bulu duri”. Dari mata air menuju langit, tu gala-gala napulpulan. Hariara sangka mendeha, baringin tumbur jati, disitulah bersemayam, Allah Bapak maha Pencipta langit dan bumi).

Jadi dalam tonggo-tonggo ini, jelas kita mengetahui bahwa Allah Pencipta alam, bersemayam di langit yang ke tujuh.

3. Pansur si Pitu Dai (Pancuran tujuh rasa), juga melambangkan bahwa ramuan obat-obatan tradisionil Batak, banyak yang harus bersyarat tujuh misalnya : harus tujuh macam, harus tujuh kali, harus tujuh buah, harus tujuh lembar, atau harus tujuh potong.

4. Pansur sipitu Dai (Pancur tujuh rasa), juga melambangkan tata tertib acara margondang (acara Gendang Batak). Pada acara margondang, acara harus dimulai dengan Gondang si Pitu Ombas (tujuh buah irama lagu Gendang dimainkan secara non stop tanpa di ikuti dengan tarian). Setelah gendang sipitu Ombas selesai, maka dimulailah acara menari, tetapi acara ini, harus dimulai dengan “Pitu Hali Mangaliat” (Arak-arakan tujuh kali keliling lapangan menari) dan untuk menutupi acara margondang ini, harus dimulai dengan acara Pitu hali mangaliat.

5. Pansur Sipitu Dai (Pancuran tujuh rasa) juga melambangkan “partuturan” (panggilan) dalam stuktur atau susunan Tarombo (silsilah) karena hanya tujuh Generasi yang mempunyai Pertutuan (panggilan) dalam satu garis keturunan yaitu :

  1. Ompu : Nenek moyang yaitu semua genarasi mulai dari tiga generasi diatas kita.
  2. Ompung : Kakek, yaitu orang yang dua generasi diatas kita
  3. Amang : Ayah, yaitu yang satu generasi diatas kita
  4. Haha Anggi : Abang Adik yaitu orang yang segenerasi dengan kita
  5. Anak : Anak yaitu orang yang saatu generasi di bawah kita
  6. Pahompu : Cucu, yaitu orang yang dua generasi di bawah kita.
  7. Nini : Cicit yitu orang yang mulai tiga generasi di bawah kita.

6. Pansur Sipitu Dai (Pancur Tujuh rasa0 juga melambangkan bahwa dari sepuluh orang keturunan Guru Tatea Bulan, hanya tujuh orang yang mempunyai keturunan langsung, karena tiga orang dari mereka menjadi orang sakti :.

Adapun orang yang menjadi sakti ialah :

  1. Raja Uti Sakti dan tinggal di udara, di darat dan di laut.
  2. Boru Biding laut (boru Tunghau), sakti dan tinggal di hutan atau darat
  3. Nan tinjo Sakti dan tinggal di Danau Toba atau laut.

Adapun yang mempunyai keturunan langsung sebanyak tujuh orang yaitu :

  1. Saribu Raja
  2. Limbong Mulana
  3. Sagala Raja
  4. Silau Raja
  5. Boru Pareme
  6. Bunga Haomasan
  7. Anting Haomasan

Nama yang tujuh ini di gabung menjadi satu ikatan yang dinamakan “Sipitu Tali’ (tujuh satu ikatan), dan nama yang tujuh ini jugalah yang menjadi pedoman untuk pembagian negeri limbong menjadi Pitu Turpuk (tujuh daerah perkampungan), kemudian sipitu tali atau sipitu turpuk ini juga yang menjadi dasar tata pelaksanaan hukum adat di negeri limbong, baik secara pribadi, maupun secara kelompok.

Pemerintahan Limbong dilaksanakan oleh kumpulan dari utusan dari tiap kelompok atau turpuk, yang disebut dengan nama Raja Bius (Raja Wilayah) atau dengan istilah Raja Ni Sipitu Tali. Demikian juga dalam acara kebudayaan ritual, misalnya mengadakan pesta Horbo Bius atau horbo lae-lae, maka raja Bius atau raja ni Sipitu tali inilah yang paling banyak berperan dengan raja-raja yang lain yaitu :

‘Jonggi Manaor” dari turpuk Sidauruk
“Raja Sori” dari turpuk Borsak Nilaingan
“Raja Paradum” dari turpuk Nasiapulu
“Manontang Laut” dari turpuk Sihole
“Raja Paor” dari turpuk habeahan

Bersamaan dengan itu, lahirlah Sisingamangaraja dari marga Sinambela dan juga Palti Raja dari marga Sinaga. Kesaktian Jonggi Manaor ialah Batara Guru Doli bertempat tinggal di Limbong. Kesaktian Sisingamangaraja ialah dari Bala Sori bertempat tinggal di Bakkara, dan kesaktian Palti Raja ialah Bane Bulan bertempat tinggal di Palipi.

Jonggi Manaor beserta dan Raja Sori, Raja Paradum, Manontang Laut dan Raja Paor, mereka inilah pelaksana utama dalam upacara “Hoda Somba” yaitu upacara persembahan, mempersembahkan kuda kepada Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan Yang Maha Esa). Kuda ini dipersembahkan melalui perantaraan Raja Uti, “Raja Hatorusan natorus marpangidoan tu Debata” (yang biasa atau yang bisa langsung bermohon kepada Tuhan Yang Maha Esa). Upacara Hoda Somba ini diadakan terutama kalau terjadi kemarau panjang di seluruh wilayah Samosir.

Maka Hoda Somba (Kuda Persembahan) disediakan oleh keturunan Lontung dari Samosir, kemudian kuda ini diantarkan ke Limbong yang Upacara penyerahan ini dipimpin oleh marga Situmorang, kemudian di Limbong diadakan upacara memohon turunnya hujan mereka pergi ke Simanggurguri dengan membawa seperangkat Gendang di Simanggurguri Jonggi Manaor Martonggo (berdoa) memohon turunnya Hujan, dan pada saat itu juga pasti datang hujan sehingga semua peserta upacara itu harus basah kuyup di Limbong di Guyur air Hujan.

Hoda Somba (Kuda Persembahan) ini dipotong kemudian dikuliti, semua dagingnya dibagi dan dimakan menurut tata cara hak (Parjambaron)menurut status dan kelompok masing-masing kepada semua peserta upacara. Hoda Somba (Kuda Persembahan).

Kemudian kulit Kuda itu, diantarkan kepada Raja Uti di Barus dan yang mengatarkannya ialah Jonggi Manaor, Raja Sori, Raja Paradum, Manontang Laut dan Raja Paon, mereka berjalan kaki dari negeri Limbong melewati Hutan belantara menuju Barus.

Tetapi … setelah mereka berjumpa dengan Raja Uti di Barus, kulit Kuda yang mereka bawa dari Limbong itu menjelma menjadi Kuda yang hidup sebagaimana Kuda itu sebelum dipotong.

Pansur Sipitu Dai (Pancuran tujuh rasa) ini juga mempunyai kisah tersendiri dari si Boru Pareme, karena di Pansur Sipitu dai inilah si Raja Lontung bertemu dengan si Boru Pareme, yang kemudian mereka kawin. Hingga sekarang, apabila ada orang yang kesurupan si Boru Pareme, maka orang itu selalu meminta manortor (Menari) di Pansur Sipitu Dai. Siboru Pareme dengan Raja Lontung mempunyai 7 (tujuh) keturunan yaitu : Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, Siregar.

Dari anak Lontung yang tujuh orang ini, anak yang paling bungsu yaitu Marga “Siregar”, adalah menantu kesayangan bagi marga Limbong. Hal itu dapat dibuktikan kalau pansur Ni Hela salah satu Pancuran dari yang tujuh yang di khususkan untuk tempat mandi semua menantu (yang mengawani putri Limbong), kalau pansur Hela ini russak, maka hanya marga Siregarlah yang berkewajiban dan berhak untuk memperbaiki Pancuran itu.

Demikianlah Kisah Pitu Halongangan Opat Batu Tolu Aek, (Tujuh keajaiban Empat Batu Tiga Air), yang terletak di Kaki Dolok Pusut Buhit Kecamatan Sianjur Mula-mula, semoga bukti-bukti sejarah yang masih mempunyai keanehan ini, dapat dilestarikan dan dikembangkan oleh generasi penerus Bangsa Indonesia karena kebudayaan yang ada di Sianjur Mula-mula adalah milik seluruh BANGSA INDONESIA HORAS.

Selamat Hari Natal Punguan Sinurat

Klik Kanan gambar ini, kemudian Klik “Open Link a New Tab” agar dapat Melihat gambar Animasinya

Kalender Punguan Sinurat 2011

Tahun 2011 sebentar lagi akan datang, maka Punguan Sinurat membuat Kalender untuk tahun 2011, bila ingin mendownload kalender ini  ikuti petunjuk

  1. Klik  gambar
  2. Setelah muncul tampilan gambar besar terlihat, klik kanan mose pada gambar tersebut kemudian klik “Save Image As
  3. Pilih drive atau hardisk dan folder tempat menyimpan kalender

Silahkan cetak sebanyak-banyaknya, semoga bermanfaat

Mamoholi

APABILA satu keluarga dekat kita melahirkan seorang anak, kita akan turut merasakan sukacita yang besar sebagaimana yang dialami keluarga dekat itu. Pada umumnya kita akan menyatakan sukacita itu dengan datang berkunjung ke rumah keluarga itu dengan membawa beras (parbue si pir ni tondi sesuai dengan kepantasannya menurut posisi kekerabatan masing-masing) serta bentuk pemberian lain baik berupa makanan maupun uang. Didaerah-daerah rantau seperti Jabodetabek kita lebih sering ambil ringkasnya saja dengan meberikan uang sekadar untuk membeli keperluan si bayi yang baru lahir seperti sabun, bedak, susu atau lainnya.

Diwilayah adat Toba, mamoholi disebut manomu-nomu yang maksudnya adalah menyambut kedatangan (kelahiran) bayi yang dinanti-nantikan itu. Disamping itu juga dikenal istilah lain utuk tradisi ini sebagai memboan aek ni unte yang secara khusus digunakan bagi kunjungan dari keluarga hula-hula/tulang.

Pada hakikatnya tradisi mamoholi adalah sebuah bentuk nyata dari kehidupan masyarakat Batak tradisional di bona pasogit yang saling bertolong-tolongan (masiurupan). Seorang ibu yang baru melahirkan di kampung halaman, mungkin memerlukan istirahat paling tidak 10 hari sebelum dia mampu mempersiapkan makanannya sendiri. Dia masih harus berbaring di dekat tungku dapur untuk menghangatkan badanya dan disegi lain dia perlu makanan yang cukup bergizi untuk menjamin kelancaran air susu (ASI) bagi bayinya.

Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, maka saudara-saudara sekampung akan secara bergantian dari hari ke hari berikutnya mempersiapkan makanan bagi si ibu berupa nasi, lauk daging ayam atau ikan (na tinombur), jenis sayuran yang dipercaya membantu menambah produksi ASI (seperti bangun-bangun) dan lain-lain. Selain makanan siap saji, ada juga keluarga-keluarga yang membawa bahan makanan dalam bentuk mentah seperti beras, ayam hidup, ikan hidup dan yang lebih mentah lagi dalam bentuk uang. Sehingga paling sedikit untuk dua atau tiga bulan berikutnya si ibu yang baru melahirkan itu tidak perlu khawatir akan makanan yang ia butuhkan untuk merawat bayinya sebaik-baiknya sampai ia kuat untuk melakukan tugas-tugas kesehariannya.

Kunjungan pihak hulahula/tulang untuk menyatakan sukacita dan rasa syukur mereka atas kelahiran cucu itu adalah sesuatu yang khusus. Mungkin mereka akan datang beberapa hari setelah kelahiran bayi itu dalam rombongan lima atau enam keluarga yang masing-masing mempersiapkan makanan bawaannya, sehingga dapat dibayangkan berapa banyak makanan yang tersedia sekaligus.

Untuk menyambut dan menghormati kunjungan hulahula itu maka tuan rumah pun mengundang seluruh keluarga sekampungnya untuk bersama-sama menikmati makanan yang dibawa oleh rombongan hulahula itu. Setelah makan bersama, anggota rombongan hulahula akan menyampaikan kata-kata doa restu semoga si bayi yang baru lahir itu sehat-sehat, cepat besar dan dikemudian hari juga diikuti oleh adik-adik laki-laki maupun  perempuan

(band W Hutagalung, 1963: 245)

Kitab Boru Debata

Kitab ini berisikan tentang kehidupan wanita hingga memperoleh anak termasuk para putri titisan Allah juga mengenai para ratu air.

Laklak Boru Debata (Kitab Putri Mulajadi)
Selama satu tahun, manuk-manuk hulambu jati mengeram tiga ruas bambu, kemudian dari tiga ruas bambu tersebut keluarlah tiga orang wanita yang bernama :

  1. Siboru Porti Bulan
  2. Siboru Malinbindabini
  3. Siboru Anggasana

Kemudian Ompunta Mulajadi Nabolon bersabda : “ Wahai engkau Siboru Porti Bulan kawinlah engkau dengan Batara Guru ! , engkau boru Malimbindabini kawinlah engkau dengan Debata Sori ! , engkau Siboru Anggasana kawinlah engkau dengan Debata Bulan ” ! ” Aku akan memberitahukan kepada kalian bagaimana terjadinya manusia selama sembilan bulan dalam kandungan ibu dan tiga bulan di kandung ayah. Jika delapan bulan dalam kandungan ibu, maka empat bulan dikandung ayah, sebab terjadinya manusia harus setelah tiga kali Panenabolon singgah di empat desa mengelilingi bumi ini, lalu aku akan memberikan kuasa kepada kalian agar menguasai air beserta isinya. Uruslah anak-anakmu kelak dan bantulah manusia yang tidak mempunyai keturunan”. Pada jaman dahulu kala dokter spesialis kandungan belum ada. Yang ada hanya dukun beranak (Sibaso Nabolon) yang mengurus sejak dikandungan sampai dilahirkan.

1. Kodrat Kandungan
Menurut orang batak, khususnya Ugamo Malim terjadinya manusia menjalani rentang waktu selama dua belas bulan. Di dalam kandungan ibu hanya sembilan bulan, dimanakah tiga bulan lagi? Menurut orang batak yang tiga bulan lagi dikandungan ayahnya, sebab jika tidak bersemayam dalam kandungan ayahnya selama tiga bulan, bagaimanapun si ibu tidak akan mengandung.

Terjadinya manusia dalam sembilan bulan.

Bulan I

Benih tiga bulan dalam kandungan Ayah Benih kejadian dalam Ibu, Roh dari Rohani bercampur dengan Roh Jasmani ditambah kodrat Mulajadi berdiam dibumi suci di rahim ibu.

Bulan 2

Telah bertambah Debata na tolu dibumi suci mendapat getaran, Jika sudah ketemu berbentuk.

Bulan 3

telah berada dalam bumi suci, dan sudah dapat berdenyut. Tambahan Debata na tolu masuknya warna merah, putih, hitam

Bulan 4

Pada bulan keempat, sudah dalam proses pembentukan kulit. Pada saat ini Ibu mulai merasa mual, karena sudah mulai bergerak.

Bulan 5

Pada bulan kelima proses terjadinya otak manusia dalam bumi suci.

Bulan 6

Proses bulan keenam adalah proses terjadinya urat manusia dan sudah mulai bergerak.

Bulan 7


Pada bulan ketujuh proses terjadinya tulang (Disini tidak dijelaskan kapan terjadinya Bere)

Bulan 8

Pada bulan kedelapan bayi sudah hampir rampung dan sudah mulai bolak-balik, serta mulai terjadinya rambut.

Bulan 9
– Proses pemisahan air ketuban
– Proses pemisahan bungkus
– Proses pemisahan tali-tali
– Proses pemisahan darah pengiring maut
– Dan tinggal menunggu hari lahirnya.

Setelah sembilan bulan dalam kandungan maka bayi tersebut mulai berputar, selama tujuh hari, tiba pada hari ketujuh setelah bayi tersebut berputar tujuh kali, maka pintu bumi pun terbuka dan bayi tersebut keluar kemudian menangis memulai hidup ke zaman mulia.
Perlu kita ketahui bahwa selama hidup hanya satu kali kita bisa lihat wujud roh manusia yaitu ARI-ARI.

2. Asal Kesempurnaan Hidup

Oleh sebab itu maka kita harus mengetahui adanya manusia sempurna pada keadaan yang sejati, seperti sang makhluk yang pulang pada zamannya. Jika telah terdesak dialamnya sendiri dan telah berwujud satu, maka akan lahir kedunia setelah :

  • Cahaya gemilang turun kepada bayi.
  • Budi turun pulang kepada adjsan
  • Raksa turun pulang kepada miral
  • Rupa turun pulang kepada arwah
  • Warna turun pulang kepada wasdayat
  • Bau turun pulang kepada wahdat
  • Angan turun pulang kepada hadijat
  • Hidup turun pulang kepada insan

Insan sempurna terang benderang dari kodrat Debata Natolu adalah pria dan wanita. Manusia yang sempurna didalam hidup di bumi suci setelah memiliki :

  • Kulit – Rambut
  • Otak – Daging
  • Urat – Darah
  • Tulang – Sumsum

adapun empat saudara kelima darinya dalam wujud adalah :

  • Air tuban
  • Bungkus
  • Temburi (Ari-ari)
  • Darah pengiring budak
  • Pancar ( telah sempurna kepada kodrat Yang Maha Mulia selama-lamanya )
  • Hitam bernyala merah
  • Merah bernyala kuning
  • Kuning bernyala putih
  • Putih bernyala murni
  • Kulit bernyala daging
  • Kulit bernyala tulang
  • Tulang bernyala kawat (urat)
  • Urat bernyala cahaya ( kata nujum manusia sempurna di bumi suci )

BORU NI RAJA” DALAM SETIAP KELUARGA BATAK

Istilah sebutan “Boru Raja” dipakai oleh orang batak toba untuk meletakkan posisi seorang perempuan dalam setiap keluarga batak lebih hormat. Sebutan ini pernah dan kadang kala terdengar oleh saya diucapkan ayah kepada ibu pada waktu menyuruhnya mengambilkan sesuatu pas moment kongkow (bincang-bincang santai) pada hari istirahat minggu pagi. bersama keluarga di ruang tamu.

“Raja” dalam filosofi batak, berarti “yang dihormati”. Keluarga batak dari pihak perempuan yang disebut hula-hula sering disimbolkan sebagai “Raja”. Simbol Raja bermakna “penghormatan”. Istri seorang lelaki batak sering dikatakan sebagai “boru ni raja” atau “putri si raja”. Posisi “Tulang” (saudara lelaki ibu saya), adalah Raja bagi semua kemenakannya. Praktisnya, sebutan “boru raja” adalah sebuah konsep “kehormatan” dan “penghormatan” untuk perempuan batak yang dimulai sejak ia lahir. “Kehormatan” dan “penghormatan” ini meliputi banyak aspek seperti; kepatutan, moral, etika, sensitivitas, dignity, pride, wisdom, tradisi dan adat istiadat, dsb. Siapapun dia, apakah dia seorang perempuan istri Jendral atau pedagang ikan teri di pasar Senen, ia lahir didalam konsep “boru raja”.

Konsep “Raja” memiliki makna yang sangat luas; memasuki teritori adat, darah dan keseharian keluarga batak. Pertengkaran-pertengkaran di kalangan keluarga batak sering disudahi dengan kalimat “Raja do hita” atau terjemahannya adalah “kita adalah raja”. Artinya, kita tidak akan merendahkan diri kita untuk mempertengkarkan hal itu, karena seorang Raja tidak akan merendahkan martabatnya dengan pertengkaran-pertengaran, perkelahian dsb. Hebat kan konsep “ke-Raja-an” dalam filosofi batak itu? Walaupun dalam prakteknya hal itu lah yang paling susah dilakukan oleh orang batak. Mungkin konsep itu dibuat oleh opung-opung jaman dulu untuk mengatasi karakter “keras” orang batak. Apapun itu, betapapun sulitnya mengimplementasikannya, makna konsep itu luar biasa.

Inti dari konsep “boru raja” dalam filosofi batak mengajarkan setiap perempuan batak untuk memahami nilai-nilai “kehormatan”. Boru Raja adalah nilai yang melekat pada diri seorang perempuan Batak, yang bila mau dijelaskan cukup satu kata saja, yakni Terhormat. Perempuan terhormat, tentunya tidak badung, tidak nakal, tidak selingkuh, tidak memecah belah keluarga, tidak menindas suami, dan banyak lagi tidak-tidak lainnya.

TAHAP-TAHAPAN UPACARA SAUR MATUA

Upacara kematian pada masyarakat Batak Toba merupakan pengakuan bahwa masih ada kehidupan lain dibalik kehidupan di dunia ini. Adapun maksud dan tujuan masyarakat Batak Toba untuk mengadakan upacara kematian itu tentunya berlatar belakang kepercayaan tentang kehidupan .

Saur matua adalah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu baik darianak laki-laki maupun anak perempuan. Saur artinya lengkap/sempurna dalam kekerabatan, telah beranak cucu. Karena yang telah meninggal itu adalah sempurna dalam kekerabatan, maka harus dilaksanakan dengan sempurna. Lain halnya dengan orang yang meninggal sari matua. Kalaupun suhut membuat acara adat sempurna sesuai dengan Adat Dalihan Na Tolu, hal seperti itu belum tentu dilakukan karena masih ada dari keturunannya belum sempurna dalam hal kekerabatan. Dalam melaksanakan sesuatu upacara harus melalui fase-fase (tahapan-tahapan) yang harus dilalui oleh setiap yang melaksanakannya.

Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah sebagai berikut:

1. Sebelum Upacara di Mulai

Dalam kehidupan ini, setiap manusia dalam suatu kebudayaan selalu berkeinginan dan berharap dapat menikmati isi dunia ini dalam jangka waktu yang lama. Tetapi usaha untuk mencapai keinginan tersebut adalah di luar jangkauan manusia,karena keterbatasan, kemampuan dan akal pikiran yang dimiliki oleh manusia. Selain itu, setiap manusia juga sudah mempunyai jalan kehidupannya masing-masing yang telah ditentukan batas akhir kehidupannya. Batas akhir kehidupan manusia ini (mati) dapat terjadi dikarenakan berbagai hal,misalnya karena penyakit yang diderita dan tidak dapat disembuhkan lagi kecelakaan dan sebab-sebab lain yang tidak dapat diketahui secara pasti, maupun disebabkan penyakit.

Pada masyarakat Batak Toba, bila ada orangtua yang menderita penyakit yang sulit untuk disembuhkan, maka pada keturunanya beserta sanak famili biasanya melakukan acara adat khusus baginya, yang disebut dengan Manulangi (memberi makan). Sebelum diadakan acara manulangi ini, maka pada keturunannya beserta sanak famili lebih dahulu harus mengadakan musyawarah untuk menentukan berbagai persyaratan, seperti menentukan hari pelaksanaan adat panulangion itu, jenis ternak yang akan dipotong, dan jumlahnya serta biaya yang diperlukan untuk mempersiapkan makanan tersebut. Sesuai dengan hari yang sudah ditentukan, berkumpullah semua keturunan dan sanak famili di rumah orangtua tersebut dan dipotonglah seekor ternak babi untuk kemudian dimasak lagi dengan baik sebagai makanan yang akan disuguhkan untuk dimakan bersama-sama. Pada waktu itu juga turut diundang hula-hula dari suhut, dongan tubu, dan natua-tua ni huta (orang yang dituakan di kampung tersebut).

Kemudian acara panulangion dimulai dengan sepiring makanan yang terdiri dari sepiring nasi dan lauk yang sudah dipersiapkan, diberikan kepada orangtua tersebut oleh anak sulugnya. Pada waktu Eanulangi, si anak tersebut menyatakan kepada orangtuanya bahwa mereka sebenarnya khawatir melihat penyakitnya. Maka sebelum tiba waktunya, ia berharap agar orangtuanya dapat merestui semua keturunananya hingga beroleh umur yang panjang, murah rezeki dan tercapai kesatuan yang lebih mantap. Ia juga mendoakan agar orangtuanya dapat lekas sembuh. Setelah anaknya yang sulung selesai memberikan makan, maka dilanjutkan oleh adik-adiknya sampai kepada yang bungsu beserta cucu-cucunya. Sambil disuguhi makanan, semua keturunannya direstui dan diberi nasehat-nasehat. Pada waktu itu ada juga orangtua yang membagi harta warisannya walaupun belum resmi berlaku.

Setelah selesai memberi makan, maka selanjutnya keturunan dari orangtua itu harus manulangi hula-hulanya dengan makanan agar hula-hulanya juga memberkati mereka. Acara kemudian dilanjutkan dengan makan bersama-sama. Sambil makan, salah seorang dari pihak boru (suhut) memotong haliang (leher babi) dan dibagi-bagikan kepada hadirin. Setelah selesai makan, diadakanlah pembagian”jambar (suku-suku daging). Gaor bontar (kepala baglan atas sebelah kiri untuk boru (anak perempuan), Osang (mulut bagian bawah) untuk hula-hula, Hasatan (ekor) untuk keluarga suhut, soit (perut bagian tengah) untuk dongan sabutuha (teman semarga) dan jambar (potongan daging-daging) untuk semua yang hadir). Setelah pembagian jambar maka mulailah kata-kata sambutan yang pertama oleh anak Sulung dari orangtua ini dilanjutkan dari pihak boru, dongan sabutuha, dongan sahuta, dan terakhir dari hula-hula.

Setelah selesai kata mangampui, maka acarapun selesai dan diadakanlah doa penutup. Setelah acara panulangion itu selesai, maka pada hari berikutnya pihak hula-hula pergi menjenguk orangtua tadi dengan membawa dengke (ikan) dan sehelai ulos (kain adat batak) yang disebut ulos mangalohon ulos naganjang (memberikan kain adat). Ketika hula-hula menyampaikan makanan itu kepada orangtua yang sakit, disitulah merka memberikan ulos naganjang kepada orangtua itu dengan meletakkannya di atas pundak (bahu) orangtua tersebut. Tujuan dari pemberian ulos dan makanan ini adalah supaya orangtua tersebut cepat sembuh, berumur panjang dan dapat membimbing semua keturunannya hingga selamat dan sejahtera di hari-hari mendatang.

Setelah pemberian ikan dan ulos itu maka pihak boru brdoa dan menyuguhkan daging lengkap dengan suku-sukunya kepada pihak hula-hula. Pada waktu yang ditentukan oleh Yang Maha Kuasa, akhirnya orangtua yang gaur matua itu meninggal dunia, maka semua keluarga menangis dan ada yang meratap sebagai pertanda bahwa sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berpisah. Sesudah mayat tersebut dibersihkan maka dikenakan pakaian yang rapi dan diselimuti dengan kain batak (ulos). selanjutnya dibaringkan di ruang tengah yang kakinya mengarah ke jabu (bona rumah suhut). Pada saat yang bersamaan, pihak laki-laki baik dari keturunan orangtua yang meninggal maupun sanak saudara berkumpul di rumah duka dan membicarakan bagaimana upacara yang akan dilaksanakan kepada orangtua yang sudah saur matua itu. Dari musyawarah keluarga akan diperoleh hasil-hasil dari setiap hal yang dibicarakan. Hasil-hasil ini dicatat oleh para suhut untuk kemudian untuk dipersiapkan ke musyawarah umum. penentuan hari untuk musyawarah umum ini juga sudah ditentukan. Dan mulailah dihubungi pihak famili dan mengundang pihak hula-hula, boru, dongan tubu. raja adat, parsuhuton supaya hadir dalam musyawarah umum (Mangarapot). Sesudah acara mangarapot selesai, maka diadakanlah pembagian tugas bagi pihak hasuhuton. Beberapa orang dari pihak hasuhuton pergi mengundang (Manggokkon hula-hula, boru, dongan sabutuha (yang terdiri dari ternan semarga, teman sahuta, teman satu kampung) serta sanak saudara yang ada di rantau. Pihak suhut lainnya ada yang memesan peti mayat, membeli dan mempersiapkan beberapa ekor ternak (kerbau atau babi atau yang lainnya) sebagai makanan pesta atau untuk borotan.

Mereka yang bekerja pada saat upacara adalah pihak boru yang disebut Parhobas. Dan sebagian dari pihak suhut mempersiapkan pakaian adat untuk keturunan orangtua yang meninggal saur matua itu, yaitu semua anak laki-lakinya, cucu lakilaki dari yang pertama (sulung) dan cucu laki-laki dari anaknya perempuan.Pakaian adat ini terdiri dari ulos yang diselempangkan di atas bahu dan topi adat yang dipakai di atas kepala. Pihak boru lainnya pergi mengundang pargonsi dengan memberikan napuran tiar (sirih) yang diletakkan di atas sebuah piring beserta dengan uang honor dari pargonsi selama mereka memainkan gondang sabangunan dalam upacara saur matua. pemberian napuran tiar ini menunjukkan sikap hormat kepada pargonsi agar pargonsi bersedia menerima undangan tersebut dan tidak menerima undangan lain pada waktu yang bersamaan.

2. Acara Pelaksanaan Upacara Kematian Saur Matua

Setelah keperluan upacara selesai dipersiapkan barulah upacara kematian gaur matua ini dapat dimulai. Pelaksanaan upacara kematian saur matua ini terbagi atas dua bagian yaitu :

  • Upacara di jabu (di dalam rumah) termasuk di dalamnya upacara di jabu menuju maralaman (upacara di rumah menuju ke halaman ).
  • Upacara maralaman (di halaman) Kedua bentuk upacara inilah yang dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba sebelum mengantarkan jenazah ke liang kubur.

Upacara di jabu (di dalam rumah)
Pada saat upacara di jabu akan dimulai, mayat dari orangtua yang meninggal dibaringkan di jabu bona (ruang tamu). Letaknya berhadapan dengan kamar orangtua yang meninggal ataupun kamar anak-anaknya dan diselimuti dengan ulos sibolang. Suami atau isteri yang ditinggalkan duduk , di sebelah kanan tepat di samping muka yang meninggal. Kemudian diikuti oleh anak laki-laki mulai dari anak yang paling besar sampai anak yang paling kecil. Anak perempuan dari orangtua yang meninggal, duduk di sebelah kiri dari peti mayat. Sedangkan cucu dan cicitnya ada yang duduk di belakang atau di depan orangtua meeka masing-masing. Dan semua unsur dari dalihan natolu sudah hadir di rumah duka dengan mengenakan ulos.

Upacara di jabu ini biasanya di buka pada pagi hari (sekitar jam 10.00 Wib) oleh pengurus gereja. Kemudian masing-masing unsur dalihan natolu mengadakan acara penyampaian kata-kata penghiburan kepada suhut. Ketika acara penyampaian kata-kata penghiburan oleh unsur-unsur dalihan natolu sedang berlangsung, diantara keturunan orangtua yang meninggal masih ada yang menangis. Pada saat yang bersamaan, datanglah pargonsi sesuai dengan undangan yang disampaikan pihak suhut kepada mereka. Tempat untuk pargonsi sudah dipersiapkan lebih dahulu yaitu di bagian atas rumah (bonggar).  Kemudian pargonsi disambut oleh suhut dan dipersilahkan duduk di jabu soding (sebelah kiri ruang rumah yang beralaskan tikar. Lalu suhut menjamu makan para pargonsi dengan memberikan sepiring makanan yang berisi ikan (dengke) Batak, sagu-sagu, nasi, rudang, merata atau beras yang ditumbuk dan disertai dengan napuran tiar (sirih).

Setelah acara makan bersama para pargonsi pun mengambil tempat mereka yang ada di atas rumah dan mempersiapkan instrumen-instrumen mereka masing-masing. Umumnya semua pemain duduk menghadap kepada yang meninggal. Kegiatan margondang di dalam rumah biasanya dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari harinya dipergunakan pargonsi untuk istirahat. Dan pada malam hari tiba, pargonsi pun sudah bersiap-siap untuk memainkan gondang sabangunan. Kemudian pargonsi memainkan gondang Lae-lae atau gondang elek-elek, yaitu gondang yang memeberitahukan danmengundang masyarakat sekitarnya supaya hadir di rumah duka untuk turut menari bersama-sama.

Gondang ini juga dijadikan sebagai pengumuman kepada masyarakat bahwa ada orang tua yang meninggal saur matua. Dan pada saat gondang tersebut berbunyi, pihak suhut juga bersiap-siap mengenakan ulos dan topi adat karena sebentar lagi kegiatan margondang saur matua akan dimulai. Kemudian diaturlah posisi masing-masing unsur Dalihan Natolu. Pihak suhut berdiri di sebelah kanan yang meninggal, boru disebelah kiri yang meninggal dan hula-hula berdiri di depan yang meninggal. Jika masih ada suami atau isteri yang meninggal maka mereka berdiri di sebelah kanan yang meninggal bersama dengan suhut hanya tapi mereka paling depan.

a. Kemudian kegiatan margondang dibuka oleh pengurus gereja (pangulani huria). Semua unsur Dalihan Natolu berdiri di tempatnya masingmasing. pengurus gereja berkata kepada pangonsi agar dimainkan gondang mula-mula. Gondang ini dibunyikan untuk menggambarkan bahwa segala yang ada di dunia ini ada mulanya, baik itu manusia, kekayaan dan kehormatan.

b. Gondang ke dua yaitu gondang yang indah dan baik (tanpa ada menyebutkan nama gondangnya). Setelah gondang berbunyi, maka semua menari.

c. Gondang Liat-liat, para pengurus gereja menari mengelilingi mayat memberkati semua suhut dengan meletakkan tangan yang memegang ulos ke atas kepala suhut dan suhut membalasnya dengan meletakkan tangannya di wajah pengurus gereja.

d. Gondang Simba-simba maksudnya agar kita patut menghormati gereja. Dan pihak suhut menari mendatangi pengurus gereja satu persatu dan minta berkat dari mereka dengan rneletakkan ulos ke bahu rnasing-masing pengurus gereja. Sedangkan pengurus gereja menaruh tangan mereka ke atas kepala suhut.

e. Gondang yang terakhir, hasututon meminta gondang hasahatan dan sitio-tio agar semua mendapat hidup sejahtera bahagia dan penuh rejeki dan setelah selesai ditarikan rnereka semuanya mengucapkan horas sebanyak tiga kali.

Kemudian masing-masing unsur dari Dalihan Natolu meminta gondang kepada pargonsi, mereka juga sering memberikan uang kepada pargonsi tetapi yang memberikan biasanya adalah pihak boru walaupun uang tersebut adalah dari pihak hula-hula atau dongan sabutuha. Maksud dari pemberian uang itu adalah sebagai penghormatan kepada pargonsi dan untuk memberi semangat kepada pargonsi dalam memainkan gondang sabangunan.

Jika upacara ini berlangsung beberapa malam, maka kegiatan-kegiatan pada malam-malam hari tersebut diisi dengan menotor semua unsur Dalihan Na Tolu. Keesokan harinya, apabila peti mayat yang telah dipesan sebelumnya oleh suhut sudah selesai, maka peti mayat dibawa rnasuk kedalam rumah dan mayat dipersiapkan untuk dimasukkan ke dalam peti. Ketika itu hadirlah dongan sabutuha, hula-hula dan boru. Yang mengangkat mayat tersebut ke dalam peti biasanya adalah pihak hasuhutan yang dibantu dengan dongan sabutuha. Tapi dibeberapa daerah Batak Toba, yang memasukkan mayat ke dalam peti adalah dongan sabutuha saja.

Kemudian dengan hati-hati sekali mayat dimasukkan ke dalam peti dan diselimuti dengan ulos sibolang. posisi peti diletakkan sarna dengan posisi mayat sebelumnya. Maka aktivitas selanjutnya adalah pemberian ulos tujung, ulus sampe, ulus panggabei.

Yang pertama sekali memberikan ulos adalah hula-hula yaitu ulos tujung sejenis ulos sibolang kepada yang ditinggalkan (janda atau duda) disertai isak tangis baik dari pihak suhut maupun hula-hula sendiri. Pemberian ulos bermakna suatu pengakuan resmi dari kedudukan seorang yang telah menjadi janda atau duda dan berada dalam suatu keadaan duka yang terberat dalam hidup seseorang ditinggalkan oleh teman sehidup semati, sekaligus pernyataan turut berduka cita yang sedalamdalamnya dari pihak hula-hula. Dan ulos itu hanya diletakkan diatas bahu dan tidak diatas kepala. Ulos itu disebut ulos sampe atau ulos tali-tali. Dan pada waktu pemberian ulos sampe-sampe itu semua anak keturunan yang meninggal berdiri di sebelah kanan dan golongan boru di sebelah kiri daeri peti mayat.

Setelah ulos tujung diberikan, kemudian tulang dari yang meninggal memberikan ulos saput (sejenis ulos ragihotang atau ragidup), yang diletakkan pada mayat dengan digerbangkan (diherbangkan) diatas badannya. Dan bona tulang atau bona ni ari memberikan ulos sapot tetapi tidak langsung diletakkan di atas badan yang meninggal tetapi digerbangkan diatas mayat peti saja. Maksud dari pemberian ulos ini adalah menunjukkan hubungan yang baik dan akrab antara tulang dengan bere (kemenakannya).
Setelah hula-hula selesai memberikan ulos-ulos tersebut kepada suhut, maka sekarang giliran pihak suhut memberikan ulos atau yang lainnya sebagai pengganti dari ulos kepada semua pihak boru. pengganti dari ulos ini dapat diberikan sejumlah uang.

Kemudian aktivitas selanjutnya setelah pemberian ulos atau uang kepada boru adalah kegiatan margondang, dimulai dari pihak suhut, dongan sabutuha, boru dan ale-ale. Semuanya menari diiringi gondang sabungan dan mereka sesuka hati meminta jenis gondang yang akan ditarikan. Sesudah semua rombongan selesai menari, maka semua hadirin diundang untuk makan bersama. Sehari sebelumnya peti mayat dibawa ke halaman rumah orangtua yang saur matua tersebut, diadakanlah adat pandungoi yang biasanya dilakukan rada sore hari.

Adat ini menunjukkan aktivitas memberi makan (sepiring nasi beserta lauknya) kepada orangtua yang saur matua dan kepada semua sanak famili. Setelah pembagian harta warisan selesai dilaksanakan,lalu semua unsur Dalihan na Tolu kembali menari. Mulai dari pihak suhut, hasuhutan yang menari kemudian dongan sabutuha, boru, hula-hula dan ale-ale. Acara ini berlangsung sampai selesai ( pagi hari ).

Upacara di jabu menuju maralaman
Keesokan harinya (tepat pada hari penguburan) semua suhut sudah bersiapsiap lengkap dengan pakaian adatnya untuk mengadakan upacara di jabu menuju maralaman. Setelah semuanya hadir di rumah duka, maka upacara ini dimulai, tepatnya pada waktu matahari akan naik (sekitar pukul 10.00 Wib). Anak laki-laki berdiri di sebelah kanan peti mayat, anak perempuan (pihak boru) berdiri di sebelah kiri, hula-hula bersama pengurus gereja berdiri di depan peti mayat dan dongan sabutuha berdiri di belakang boru. Kemudian acara dipimpin oleh pengurus gereja mengenakan pakaian resmi (jubah).

Setelah acara gereja selesai maka pengurus gereja menyuruh pihak boru untuk mengangkat peti mayat ke halaman rumah sambil diiringi dengan nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin. Lalu peti mayat ditutup (tetapi belum dipaku) dan diangkat secara hati-hati dan perlahan-lahan oleh pihak boru dibantu oleh hasuhuton juga dongan sabutuha ke halaman. peti mayat tersebut masih tetap ditutup dengan ulos sibolang. Lalu peti mayat itu diletakkan di halaman rumah sebelah kanan dan di depannya diletakkan palang salib kristen yang bertuliskan nama orangtua yang meninggal. Sesampainya di halaman, peti mayat ditutup dan diletakkan di atas kayu sebagai penyanggahnya. Semua unsur dalihan Na Tolu yang ada di dalam rumah kemudian berkumpul di halaman rumah untuk mengikuti acara selanjutnya.

Upacara Maralaman (di halaman rumah)
Upacara maralaman adalah upacara teakhir sebelum penguburan mayat yang gaur matua. Di dalam adat Batak Toba, kalau seseorang yang gaur matua meninggal maka harus diberangkatkan dari antaran bidang (halaman) ke kuburan (disebut Partuatna). Maka dalam upacara maralaman akan dilaksanakan adat partuatna. Pada upacara ini posisi dari semua unsur dalihan Na Tolu berbeda dengan posisi mereka ketika mengikuti upacara di dalam ruah. pihak suhut berbaris mulai dari kanan ke kiri (yang paling besar ke yang bungsu), dan di belakang mereka berdiri parumaen (menantu perempuan dari yang meninggal) posisi dari suhut berdiri tepat di hadapan rumah duka. Anak perempuan dari yang meninggal beserta dengan pihak boru lainnya berdiri membelakangi rumah duka kemudian hula-hula berdiri di samping kanan rumah duka.

Semuanya mengenakan ulos yang disandang di atas bahu. Ke semua posisi ini mengelilingi kayu borotan yang ada di tengahtengah halaman rumah. Sedangkan peti mayat diletakkan di sebelah kanan rumah duka dan agak jauh dari tiang kayu borotan Posisi pemain gondang sabangunan pun sudah berbeda dengan posisi mereka ketika di dalam rumah. Pada upacara ini, posisi mereka sudah menghadap ke halaman rumah (sebelumnya di bonggar rumah, tetapi pada upacara maralaman mereka berada di bilik bonggar sebelah kanan). Kemudian pargonsi pun bersiap-siap dengan instrumennya masing-masing.

Setelah semua unsur Dalihan Na Tolu dan pargonsi berada pada tempatnya, lalu pengurus gereja membuka kembali upacara di halaman ini dengan bernyanyi lebih dahulu, lalu pembacaan firman Tuhan, bernyanyi lagi, kata sambutan dan penghiburan dari pengurus gereja, koor dari ibu-ibu gereja dan terakhir doa penutup. Kemudian rombongan dari pengurus gereja mengawali kegiatan margondang. Pertama sekali mereka meminta kepada pargonsi supaya memainkan sitolu Gondang (tanpa menyebut nama gondangnya) , yaitu gondang yang dipersembahkan kepada Debata (Tuhan) agar kiranya Yang Maha Kuasa berkenan memberkati upacara ini dari awal hingga akhirnya dan memberkati semua suhut agar beroleh hidup yang sejahtera di masa mendatang. Lalu pargonsi memainkan sitolu Gondang itu secara berturut-turut tanpa ada yang menari.

Setelah sitolu Gondang itu selesai dimainkan, pengurus gereja kemudian meminta kepada pargonsi yaitu gondang liat-liat. Maksud dari gondang ini adalah agar semua keturunan dari yang meninggal saur matua ini selamat-selamat dan sejahtera. Pada jenis gondang ini, rombongan gereja menari mengelilingi borotan (yang diikatkan kepadanya seekor kuda) sebanyak tiga kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Gerak tari pada gondang ini ialah kedua tangan ditutup dan digerakkan menurut irama gondang. Setelah mengelilingi borotan, maka pihak pengurus gereja memberkati semua boru dan suhut.

Kemudian pengurus gereja meminta gondang Marolop-olopan. Maksud dari gondang ini agar pengurus gereja dengan pihak suhut saling bekerja sama. pada waktu menari pengurus gereja mendatangi suhut dan unsur Dalihan Natolu lainnya satu persatu dan memberkati mereka dengan meletakkan ulos di atas bahu atau saling memegang wajah, sedang suhut dan unsur Dalihan Na Tolu lainnya memegang wajah pengurus gereja. Setelah gondang ini selesai, maka pengurus gereja menutup kegiatan margondang mereka dengan meminta kepada pargonsi gondang Hasahatan tu sitiotio. Semua unsur : Dalihan Na Tolu menari di tempat dan kemudian mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.

Kegiatan margondang selanjutnya diisi oleh pihak hasuhutan yang meminta gondang Mangaliat kepada pargonsi. Semua suhut berbaris menari mengelilingi kuda sebanyak 3 kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Gerakan tangan sama seperti gerak yang dilakukan oleh pengurus gereja pada waktu mereka menari gondang Mangaliat. Setelah gondang ini selesai maka suhut mendatangi pihak boru dan memberkati mereka dengan memegang kepala boru atau meletakkan ulos di atas bahu boru.Sedangkan boru memegang wajah suhut.

Setelah hasuhutan selesai menari pada gondang Mangaliat, maka menarilah dongan sabutuha juga dengan gondang Mangaliat, dengan memberikan ‘beras si pir ni tondi’ kepada suhut. Kemudian mangaliatlah (mengelilingi borotan) pihak boru sambil memberikan beras atau uang. Lagi giliran pihak hula-hula untuk mangaliat. Pihak hula-hula selain memberikan beras atau liang, mereka juga memberikan ulos kepada semua keturunan orangtua yang meninggal (baik anak laki-laki dan anak perempuan). Ulos yang diberikan hula-hula kepada suhut itu merupakan ulos holong.

Biasanya setelah keturunan yang meninggal ini menerima ulos yang diberikan hulahula, lalu mereka mengelilingi sekali lagi borotan. Kemudian pihak ale-ale yang mangaliat, juga memberikan beras atau uang. Dan kegiatan gondang ini diakhiri dengan pihak parhobas dan naposobulung yang menari. Pada akhir dari setiap kelompok yang menari selalu dimintakan gondang Hasahatan atau sitio-tio dan mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.

Pada saat setiap kelompok Dalihan Na Tolu menari, ada juga yang mengadakan pembagian jambar, dengan memberikan sepotong daging yang diletakkan dalam sebuah piring dan diberikan kepada siapa yang berkepentingan. Sementara diadakan pembagian jambar, kegiatan margondang terus berlanjut. Setelah semuanya selesai menari, maka acara diserahkan kepada pengurus gereja, karena merekalah yang akan menurup upacara ini. Lalu semua unsur Dalihan Na Tolu mengelilingi peti mayat yang tertutup. Di mulai acara gereja dengan bernyanyi, berdoa, penyampaian firman Tuhan, bernyanyi, kata sambutan dari pengurus gereja, bernyanyi dan doa penutup. Kemudian peti mayat dipakukan dan siap untuk dibawa ke tempat penguburannya yang terakhir yang telah dipersiapkan sebelumnya peti mayat diangkat oleh hasuhutan dibantu dengan boru dan dong an sahuta, sambil diiringi nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin sampai ke tempat pemakamannya. Acara pemakaman diserahkan sepenuhnya kepada pengurus gereja. Setelah selesai acara pemakaman, kembalilah semua yang turut mengantar ke rumah duka.

3. Acara Sesudah Upacara Kematian.

Sesampainya pihak suhut , hasuhutan, boru, dongan sabutuha, hula-hula di rumah duka, maka acara selanjutnya adalah makan bersama. Pada saat itulah kuda yang diborotkan tadi sudah dapat dilepaskan dan ternak (babi) yang khusus untuk makanan pesta atau upacara yang dibagikan kepada semua yang hadir. Pembagian jambar ini dipimpin langsung oleh pengetua adat. Tetapi terdapat berbagai variasi pada beberapa tempat yang ada pada masyarakat batak toba. Salah satu uraian yang diberikan dalam pembagian jambar ini adalah sebagai berikut:

  • Kepala untuk tulang
  • Telur untuk pangoli
  • Somba-somba untuk bona tulang
  • satu tulang paha belakang untuk bona ni ari
  • Satu tulang belakang lainnya untuk parbonaan
  • Leher dan sekerat daging untuk boru

Setelah pembagian jambar ini selesai dilaksanakan maka kepada setiap hulahula yang memberikan ulos karena meninggal saur matua orang tua ini, akan diberikan piso yang disebut “pasahatkhon piso-piso”, yaitu menyerahkan sejumlah uang kepada hula-hula, jumlahnya menurut kedudukan masing-masing dan keadaan.

Bilamana seorang ibu yang meninggal saur matua maka diadakan mangungkap hombung (buha hombung), yang dilakukan oleh hula-hula dari ibu yang meninggal, biasanya dijalankan oleh amana posona (anak dari ito atau abang adik yang meninggal). Buha Hombung artinya membuka simpanan dari ibu yang meninggal. Hombung ialah suatu tempat tersembunyi dalam rumah, dimana seorang ibu biasanya menyimpan harta keluarga ; pusaka, perhiasan, emas dan uang.

Harta kekayaan itu diminta oleh hula-hula sebagai kenang-kenangan, juga sebagai kesempatan terakhir untuk meminta sesuatu dari simpanan “borunya” setelah selesai mangungkap hombung, maka upacara ditutup oleh pengetua adat. Beberapa hari setelah selesai upacara kematian saur matua, hula-hula datang untuk mangapuli (memberikan penghiburan) kepada keluarga dari orang yang meninggal saur matua dengan membawa makanan berupa ikan mas. Yang bekerja menyedikan keperluan acara adalah pihak boru.

Acara mangapuli dimulai dengan bernyanyi, berdoa, kata-kata penghiburan setelah itu dibalas (diapu) oleh suhut. Setelah acara ini selesai, maka selesailah pelaksanaan upacara kematian saur matua. Latar belakang dari pelaksanaan upacara kematian saur matua ini adalah karena faktor adat, yang harus dijalankan oleh para keturunan orang tua yang meninggal tersebut. Pelaksanaan upacara ini juga diwujudkan sebagai penghormatan kepada orang tua yang meninggal, dengan harapan agar orang tua tersebut dapat menghormati kelangsungan hidup dari para keturunannya yang sejahtera dan damai. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara manusia yang masih hidup dengan para kerabatnya yang sudah meninggal masih ada hubungan ini juga menentukan hidup manusia itu di dunia dan di akhirat.

Sebagai salah satu bentuk aktivitas adat , maka pelaksanaan upacara ini tidak terlepas dari kehadiran dari unsur-unsur Dalihan Natolu yang memainkan peranan berupa hak dan kewajiban mereka. Maka dalihan natolu inilah yang mengatur peranan tersebut sehingga prilaku setiap unsur khususnya dalam kegiatan adat maupun dalam kehidupan sehari-hari tidak menyimpang dari adat yang sudah ada.

Gondang Batak

Makna atau Arti yang Terdapat pada Sistem Peralatan Gondang dan Fase-fase dalam Upacara Kematian pada Batak Toba

A. Pengertian Gondang

Pada tradisi musik Toba, kata gondang (Secara harfiah) memiliki banyak pengertian. Antara lain mengandung arti sebagai :

  1. seperangkat alat musik
  2. ensambel musik
  3. komposisi lagu (kumpulan dari beberapa lagu), Makna lain dari kata ini, berarti juga sebagai
  4. menunjukkan satu bagian dari kelompok kekerabatan, tingkat usia; atau orang-orang dalam tingkatan status sosial tertentu yang sedang menari (manortor) pada saat upacara berlangsung.

Pengertian gondang sebagai perangkat alat musik, yakni gondang Batak.
Gondang Batak sering diidentikkan dengan gondang sabangunan atau ogling sabangunan dan kadang-kadang juga diidentikkan dengan taganing (salah satu alat musik yang terdapat di dalam gondang sabangunan). Hal ini berarti memberi kesan kepada kita seolah-olah yang termasuk ke dalam Gondang Batak itu hanyalah gondang sabangunan, sedangkan perangkat alat musik Batak yang lain, yaitu :

Gondang hasapi tidak termasuk gondang Batak. Padahal sebenarnya gondang hasapi juga adalah gondang Batak, akan tetapi istilah gondang hasapi lebih dikenal dengan istilah uning-uningan daripada gondang Batak.

Gondang dalam pengertian ensambel musik terbagi atas dua bagian, yakni gondang sabangunan (gondang bolon) dan gondang hasapi (uning-uningan). Gondang sabangunan dan gondang hasapi adalah dua jenis ensambel musik yang terdapat pada tradisi musik Batak Toba. Secara umum fungsi kedua jenis ensambel ini hampir tidak memiliki perbedaan keduanya selalu digunakan di dalam upacara yang berkaitan dengan religi, adat maupun upacara-upacara seremonial lainnya. Namun demikian kalau diteliti lebih lanjut, kita akan menemukan perbedaan yang cukup mendasar dari kedua ensambel ini.

Sebutan gondang dalam pengertian komposisi menunjukkan arti sebagai sebuah komposisi dari lagu (judul lagu secara individu) atau menunjukkan kumpulan dari beberapa lagu/repertoar, yang masing-masing ini bisa dimainkan pada upacara yang berbeda tergantung permintaan kelompok orang yang terlibat dalam upacara untuk menari, termasuk di dalam upacara kematian saur matua. Misalnya : gondang si Bunga Jambu, gondang si Boru Mauliate dan sebagainya. Kata si bunga jambu, si boru mauliate dan malim menunjukkan sebuah komposisis lagu, sekaligus juga merupakan judul dari lagu (komposisi) itu sendiri.

Berbeda dengan gondang samba, samba Didang-Didang dan gondang elekelek (lae-lae). Meskipun kata gondang di sini juga memiliki pengertian komposisi, namun kata sombai;didang-didangi dan elek-elek memiliki pengertian yang menunjukkan sifat dari gondang tersebut, yang artinya ada beberapa komposisi yang bisa dikategorikan di dalam gondang-gondang yang disebut di atas, yang merupakan “satu keluarga gondang”. Komposisi dalam “satu keluarga gondang,” memberi pengertian ada beberapa komposisi yang memiliki sifat dan fungsi yang sama, yang dalam pelaksanaannya tergantung kepada jenis upacara dan permintaan kelompok orang yang terlibat dalam upacara. Misalnya: gondang Debata (termasuk di dalamnya komposisi gondang Debata Guru, Debata sari, Bana Bulan, dan Mulajadi); gondang Sahalai dan gondang Habonaran.

Gondang dalam pengertian repertoar contohnya si pitu Gondang. si pitu Gondang atau kadang-kadang disebut juga gondang parngosi (baca pargocci) atau panjujuran Gondang adalah sebuah repertoar adalah reportoar/kumpulan lagu yang dimainkan pada bagian awal dari semua jenis upacara yang melibatkan aktivitas musik sebagai salah satu sarana dari upacara masyarakat Batak Toba. Semua jenis lagu yang terdapat pada si pitu Gondang merupakan “inti” dari keseluruhan gondang yang ada. Namun, untuk dapat mengetahui lebih lanjut jenis bagian apa saja yang terdapat pada si pitu Gondang tampaknya cukup rumit juga umumnya hanya diketahui oleh pargonsi saja. Lagu-lagu yang terdapat pada si pitu Gondang dapat dimainkan secara menyeluruh tanpa berhenti, atau dimainkan secara terpisah (berhenti pada saat pergantian gondang). Repertoar ini tidak boleh ditarikan. Jumlah gondang (komposisi lagu yang dimainkan harus di dalam jumlah bilangan ganjil, misalnya : satu, tiga, lima, tujuh).

Kata gondang dapat dipakai dalam pengertian suatu upacara misalnya gondang Mandudu (”upacara memanggil roh”) dan upacara Saem (”upacara ritual”). Gondang dapat juga menunjukkan satu bagian dari upacara di mana kelompok kekerabatan atau satu kelompok dari tingkatan usia dan status sosial tertentu yang sedang menari, pada saat upacara tertentu misalnya : gondang Suhut, gondang Boru, gondang datu, gondang Naposo dan sebagainya. Jika dikatakan gondang Suhut, artinya pada saat itu Suhut yang mengambil bagian untuk meminta gondang dan menyampaikan setiap keinginannya untuk dapat menari bersama kelompok kekerabatan lain yang didinginkannya. Demikian juga Boru, artinya yang mendapat kesempatan untuk menari; gondang datu, artinya yang meminta gondang dan menari; dan gondang naposo, artinya muda-mudi yang mendapat kesempatan untuk menari.

Selain kelima pengertian kata gondang tersebut, ada juga pengertian yang lain yaitu yang dipakai untuk pembagian waktu dalam upacara, misalnya gondang Sadari Saboringin yaitu upacara yang didalamnya menyertakan aktivitas margondang dan dilaksanakan selama satu hari satu malam. Dengan demikian, pengertian gondang secara keseluruhan dalam satu upacara dapat meliputi beberapa pengertian seperti yang tertera di atas. pengertian gondang sebagai suatu ensambel musik tradisional khususnya, maksudnya untuk mengiring jalannya upacara kematian saur matua.

B. Istilah Gondang Sabangunan

Banyak istilah yang diberikan para ahli kebudayaan ataupun istilah dari masyarakat Batak itu sendiri terhadap gondang Sabangunan, antara lain: agung, agung sabangunan, gordang parhohas na ualu (perkakas nan delapan) dan sebagainya. Tetapi semua ini merupakan istilah saja, karena masing-masing pada umumnya mempunyai pengertian yang sama.

Diantara istilah-istilah tersebut di atas, istilah yang paling menarik perhatian adalah parhohas na ualu yang mempunyai pengertian perkakas nan delapan. Istilah ini umumnya dipakai oleh tokoh-tokoh tua saja, dan biasanya disambung lagi dengan kalimat “simaningguak di langit natondol di tano” (artinya berpijak di atas tanah sampai juga ke langit). Menurut keyakinan suku bangsa Batak Toba dahulu, apabila gondang sabangunan tersebut dimainkan, maka suaranya akan kedengaran sampai ke langit dan semua penari mengikuti gondang itu akan melompat-lompat seperti kesurupan di atas tanah (na tondol di tano). Biasanya semua pendengar mengakui adanya sesuatu kekuatan di dalam “gondang” itu yang dapat membuat orang bersuka cita, sedih, dan merasa bersatu di dalam suasana kekeluargaan.

Gondang sabangunan disebut “parhohas na ualu, karena terdiri dari delapan jenis instrumen tradisional Batak Toba, yaitu taganing, sarune, gordang, ogling ihutan, ogling oloan, ogling panggora, ogung doal dan hesek tanpa odap. Kedelapan intrumen itu merupakan lambang dari kedelapan mata angin, yang disebut “desa na ualu” dan merupakan dasar yang dipakai untuk sebutan Raja Na Ualu (Raja Nan Delapan) bagi komunitas musik gondang sabangunan. Pada masa awal perkembangan musik gondang Batak, instrumen-instrumen ini masing-masing dimainkan oleh satu orang saja. Tetapi sejalan dengan perubahan jaman, ogling oloan dan ogling ihutan telah dapat dimainkan hanya oleh satu orang saja. Sedangkan odap sudah tidak dipakai lagi. Kadang-kadang peran hesek juga dirangkap oleh pemain taganing, sehingga jumlah pemain ensambel itu bervariasi. Keseluruhan pemain yang memainkan instrumen-instrumen dalam gondang sabangunan ini disebut pargonsi dan kegiatan yang menggunakan perangkatperangkat
musik tradisional ini disebut margondang (memainkan gondang).

C. Jenis Dan Fungsi Instrumen Gondang  Sabangunan

Gondang sabangunan sebagai kumpulan alat-alat musik tradiosional Batak Toba, terdiri dari : taganing, gordang, sarune, ogling oloan, ogling ihutan, ogling panggora, ogling doal dan hesek. Dalam uraian berikut ini akan dijelaskan masingmasing instrumen yakni fungsinya.

1. Taganing
Dari segi teknis, instrumen taganing memiliki tanggung jawab dalam penguasaan repertoar dan memainkan melodi bersama-sama dengan sarune. Walaupun tidak seluruh repetoar berfungsi sebagai pembawa melodi, namun pada setiap penyajian gondang, taganing berfungsi sebagai “pengaba” atau “dirigen” (pemain group gondang) dengan isyarat- isyarat ritme yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota ensambel dan pemberi semangat kepada pemain lainnya.

2. Gordang
Gordang ini berfungsi sebagai instrumen ritme variabel, yaitu memainkan iringan musik lagu yang bervariasi.

3. Sarune
Sarune berfungsi sebagai alat untuk memainkan melodi lagu yang dibawakan oleh taganing.

4. Ogung Oloan (pemiapin atau Yang Harus Dituruti)
Agung Oloan mempunyai fungsi sebagai instrumen ritme konstan, yaitu memainkan iringan irama lagu dengan model yang tetap. Fungsi agung oloan ini umumnya sama dengan fungsi agung ihutan, agung panggora dan agung doal dan sedikit sekali perbedaannya. agung doal memperdengarkan bunyinya tepat di tengah-tengah dari dua pukulan hesek dan menimbulkan suatu efek synkopis nampaknya merupakan suatu ciri khas dari gondang sabangunan.

Fungsi dari agung panggora ditujukan pada dua bagian. Di satu bagian, ia berbunyi berbarengan dengan tiap pukulan yang kedua, sedang di bagian lain sekali ia berbunyi berbarengan dengan agung ihutan dan sekali lagi berbarengan dengan agung oloan.

Oleh karena musik dari gondang sabangunan ini pada umumnya dimainkan dalam tempo yang cepat, maka para penari maupun pendengar hanya berpegang pada bunyi agung oloan dan ihutan saja. Berdasarkan hal ini, maka ogling oloan yang berbunyi lebih rendah itu berarti “pemimpin” atau “Yang harus di turuti” , sedang ogling ihutan yang berbunyi lebih tinggi, itu “Yang menjawab” atau “Yang menuruti”. Maka dapat disimpulkan bahwa peranan dan fungsi yang berlangsung antara ogling dan ihutan dianggap oleh orang Batak Toba sebagai suatu permainan “tanya jawab”

5. Ogung Ihutan atau Ogung pangalusi (Yang menjawab atau yang menuruti).

6. Ogung panggora atau Ogung Panonggahi (Yang berseru atau yang membuat orang terkejut).

7. Ogung Doal (Tidak mempunyai arti tertentu)

8. Hesek. Hesek ini berfungsi menuntun instrumen lain secara bersama-sama dimainkan. Tanpa hesek, permainan musik instrumen akan terasa kurang lengkap. Walaupun alat dan suaranya sederhana saja, namun peranannya penting dan menentukan.

D. Susunan Gondang Sabangunan

Menurut falasafah hidup orang Batak Toba, “bilangan” mempunyai makna dan pengaruh dalam kehidupan sehari-hari dan aktivitas adat. “Bilangan genap” dianggap bilangan sial, karena membawa kematian atau berakhir pada kematian. Ini terlihat dari anggota tubuh dan binatang yang selalu genap. menurut Sutan Muda Pakpahan, hal itu semuanya berakhir pada kematian, dukacita dan penderitaan.

Maka di dalam segala aspek kehidupan diusahakan selalu “bilangan ganjil” yang disebut bilangan na pisik yang dianggap membawa berkat dan kehidupan.

Dengan kata lain “bilangan genap” adalah lambang segala ciptaan didunia ini yang dapat dilihat dan hakekatnya akan berlalu, sedang “bilangan ganjil” adalah lambang kehidupan dan Pencipta yang tiada terlihat yang hakekatnya kekal. Itulah sebabnya susunan acara gondang sabangunan selalu dalam bilangan ganjil. Nama tiap acara, disebut “gondang” yang dapat diartikan jenis lagu untuk nomor sesuatu acara. Susunan nomor acara juga harus menunjukkan pada bilangan ganjil seperti Satu, tiga, atau lima dan sebanyak-banyaknya tujuh nomor acara. Sedangkan jumlah acara juga boleh menggunakan acara bilangan genap, misalnya : dua nomor acara, empat atau enam.

Selanjutnya susunan acara itu hendaknya memenuhi tiga bagian, yang merupakan bentuk upacara secara umum, yaitu pendahuluan yang disebut gondang mula-mula, pemberkatan yang disebut gondang pasu-pasu, dan penutup yang disebut gondang hasatan. Ketiga bagian gondang inilah yang disebut si pitu Gondang (Si Tujuh Gondang). Walaupun dapat dilakukan satu, tiga, lima, dan sebanyakbanyaknya tujuh nomor acara atau jenis gondang yang diminta. “Gondang mulamula i ma tardok patujulona na marpardomuan tu par Tuhanon, tu sabala ni angka Raja dohot situan na torop”. Artinya Gondang mula-mula merupakan pendahuluan atau pembukaan yang berhubungan dengan Ketuhanan, kuasa roh raja-raja dan khalayak ramai.

Bentuk upacara yang termasuk gondang mula-mula antara lain:

  1. Gondang alu-alu, untuk mengadukan segala keluhan kepada yang tiada terlihat yaitu Tuhan Yang Maha Pencipta, biasanya dilakukan tanpa tarian.
  2. Gondang Samba-Samba, sebagai persembahan kepada Yang Maha Pencipta. Semua penari berputar di tempat masing-masing dengan kedua tanganbersikap menyembah.

Yang termasuk gondang pasu-pasuan :

  1. Gondang Sampur Marmere, menggambarkan permohonan agar dianugrahi dengan keturunan banyak.
  2. Gondang Marorot, menggambarkan permohonan kelahiran anak yang dapat diasuh.
  3. Gondang Saudara, menggambarkan permohonan tegaknya keadilan dan kemakmuran.
  4. Gondang Sibane-bane, menggambarkan permohonan adanya kedamaian dan kesejahteraan.
  5. Gondang Simonang-monang, menggambarkan permohonan agar selalu memperoleh kemenangan.
  6. Gondang Didang-didang, menggambarkan permohonan datangnya sukacita yang selalu didambakan manusia.
  7. Gondang Malim, menggambarkan kesalehan dan kemuliaan seorang imam yang tidak mau ternoda.
  8. Gondang Mulajadi, menggambarkan penyampaian segala permohonan kepada Yang Maha pencipta sumber segala anugerah.

Angerah pasu-pasuan i ma tardok gondang sinta-sinta pangidoan hombar tusintuhu ni na ginondangkan dohot barita ngolu. Artinya gondang pasu-pasuanmerupakan penggambaran cita-cita dan pernohonan sesuai dengan acara pokok dan kisah hidup.

Sedangkan yang termasuk gondang penutup (gondang hasatan):

  1. Gondang Sitio-tio, menggambarkan kecerahan hidup masa depan sebagai jawabanterhadap upacara adat yang telah dilaksanakan.
  2. Gondang Hasatan, menggambarkan penghargaan yang pasti tentang segala yang dipinta akan diperoleh dalam waktu yang tidak lama. Gondang hasatan i ma pas ni roha na ingkon sabat saut sude na pinarsinta. Artinya : Gondang hasatan ialah : suatu keyakinan yang pasti bahwa semua cita-cita akan tercapai. Lagu-lagu untuk ini biasanya pendek-pendek saja. Dari ketiga bagian gondang tersebut di atas, maka para peminta gondang menentukan beberapa nomor acara gondang dan nama gondang yang akan ditarikan. Masing- masing gondang ditarikan satu nilai satu kali saja. Contohnya:

Sebagai pendahuluan : Gondang Alu-alu (tidak ditarikan).

  1. Gondang Mula-mula (1x). Biasanya gondang ini disatukan dengan Gondang Samba-samba.  Di Gondang Mula-mula = menari dengan tidak membuka tangan dan hanya sebentar. Di Gondang Samba-mamba = menari sambil membuka tangan
  2. Gondang Pasu-pasuan (3x) atau (5x).
  3. Gondang Sahatan (1x) atau (2x).

Yang umum dilaksanakan terdiri dari tujuh nomor acara (Si pitu Gondang) dengan susunan :

  1. Gondang Mula-mula : 1x = Gondang Mula-mula.
  2. Gondang Samba-samba : 1x = Idem
  3. Gondang Sampur Marmere : 1x = Gondang Pasu-pasuan
  4. Gondang Marorot : 1x = Idem
  5. Gondang Saudara : 1x = Idem
  6. Gondang sitio-tio : 1x = Idem
  7. Gondang Hasatan : 1x = Idem

————————————————————————————–
Jumlah : 7x (2 G. Mula-mula + 3 G. Pasu-pasuan+ 2 G Hasahatan)
Jika diadakan dalam lima nomor acara (Silima Gondang), susunannya adalah sebagai berikut :
Gondang Mula-mula
dengan Samba-samba : 1x Gondang Mula-mula.
Gondang Sibane-bane : 1x Gondang Pasu-pasuan
Gondang Simonang-monang : 1x Idem
Gondang Didang-didang : 1x Idem
Gondang Hasatan sitio-tio : 1x Gondang Hasahatan
————————————————————————————–
Jumlah : 5x (1. G Mula-mula + 3 G Pasu-pasuan + 1 G Hasatan).

Sedangkan dalam tlga nomor acara (Sitolu Gondang), susunannya ialah :
Gondang Mula-mula dengan Samba-samba : 1x = Gondang Mula-mula
Gondang Sibane-bane disatukan dengan Gondang Simonang-monang : 1x =
Gondang Pasu-pasuan
Gondang Hasahatan sitio-tio : 1x = Gondang Hasahatan
———————————————————————————————–
Jumlah : 3x (1 G Mula-mula + 1 G Pasu-pasuan + 1 G = Hasahatan).

Jika hanya nomor acara (Sisada Gondang) , maka di dalamnya sekaligus
dimainkan Gondang Mula-mula, Gondang Pasu-pasuan, Gondang Hasahatan.

E. syarat-Syarat pemain Gondang Sabangunan

Para pemain instrumen-instrumen yang tergabung dalam komunitas gondang,disebut pargonsi. Biasanya, sebagian besar warga masyarakat Batak Toba tertarik mendengar alunan suara yang dikeluarkan oleh gondang sabangunan tersebut, tetapi tidak semuanya mampu memainkan alat-alat tersebut apalagi mencapai tahap pargonsi. Hal ini disebabkan karena adanya syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi seseorang untuk dapat menjadi seorang pargonsi. Syarat-syarat tersebut seperti yang dikemukakan seorang ahlinya, antara lain:

  1. Harus mendapat sahala dari Mulajadi Na Bolon (Sang Pencipta). Sahala ini merupakan berkat kepintaran khusus dalam memainkan alat musik yang diberikan kepada seseorang sejak dalam kandungan. Dengan kata lain orang tersebut sudah dipersiapkan untuk menjadi seorang pargonsi sebagai permintaan Mula Jadi Na Bolon.
  2. Melalui proses belajar, Seseorang dapat menjadi pargonsi, dengan adanya berkat khusus yang diberikan Mulajadi Na Bolon sekaligus dipadukan dengan proses belajar. Sehingga itu seseorang memiliki ketrampilan khusus untuk dapat menjadi pargonsi. Walaupun melalui proses belajar, tetapi jika tidak diberikan sahala kepada orang tersebut, maka ia tidak berarti apa-apa atau tidak menjadi pargonsi yang pandai.
  3. Mempunyai pengetahuan mengenai ruhut-ruhut ni adat (aturan-aturan dalam adat) Maksudnya mengetahui struktur masyarakat Batak Toba yaitu Dalihan Na Tolu dan penerapannya dalam masyarakat.
  4. Umumnya yang diberkati Mulajadi Na Bolon untuk menjadi seorang pargonsi adalah laki-laki, Dengan alasan : Laki-laki merupakan basil ciptaan dan pilihan pertama Mulajadi Na Bolon. Laki-laki lebih banyak memiliki kebebasan daripada perempuan, karena para pargonsi sering diundang memainkan ke berbagai daerah untuk memainkan gondang sabangunan dalam suatu upacara adat.
  5. Seseorang yang menjadi pargonsi harus sudah dewasa tetapi bukan berarti harus sudah menikah.

F. Pemain Musik Gondang Sabangunan

Seperti yang telah diuraikan pada sub-bab sebelumnya, bahwa keseluruhan pemain yang menggunakan instrumen- instrumen dalam gondang sabangunan disebut pargonsi. Dahulu, istilah pargonsi ini hanya diberikan kepada pemain taganing saja, sedangkan kepada pemain instrumen lainnya hanya diberikan nama sesuai dengan nama instrumen yang dimainkannya, yaitu pemain ogling (parogung), pemain hesek dan pemain sarune (parsarune).

Dalam konteks sosial, pargonsi ini mendapat perlakuan yang khusus. Hal inididukung oleh adanya prinsip stratifikasi yang berhubungan dengan kedudukan pargonsi berdasarkan pangkat dan jabatan. Sikap khusus yang diberikan masyarakat kepada pargonsi itu disebabkan karena seorang pargonsi selain memiliki ketrampilan teknis, mendapat sabala dari Mulajadi Na Bolon, juga mempunyai pengetahuan tentang ruhut-ruhut ni adat (aturan-aturan adat/sendi-sendi peradaban). Sehingga untuk itu, pargonsi mendapat
sebutan Batara Guru Hundul ( artinya : Dewa Batara Guru yang duduk) untuk pemain taganing dan Batara Guru Manguntar untuk pemain sarune. Mereka berdua dianggap sejajar dengan Dewa dan mendapat perlakuan istimewa, baik dari pihak yang mengundang pargonsi maupun dari pihak yang terlibat dalam upacara tersebut. Dengan perantaraan merekalah, melalui suara gondang (keseluruhan instrumen), dapat disampaikan segala permohonan dan puji-pujian kepada Mulajadi Na Bolon (Yang Maha Esa) dan dewa-dewa bawahannya yang mempunyai hak otonomi

Posisi pargonsi tampak pada saat hendak diadakannya horja (upacara pesta) yang menyertakan gondang sabangunan untuk mengiringi jalannya upacara. Pihak yang berkepentingan dalam upacara akan mengundang pargonsi dan menemui mereka dengan permohonan penuh hormat, yang disertai napuran tiar (sirih) diletakkan di atas piring.

Pada saat upacara berlangsung, pargonsi akan dilayani dengan hormat, seperti ketika suatu kelompok orang yang terlibat dalam Dalihan Na Tolu ingin menari, maka mereka akan meminta gondang kepada pargonsi dengan menyerukan sebutan yang menyanjung dan terhormat, yaitu : “Ale Amang panggual pargonsi, Batara Guru Humundul, Batar Guru Manguntar, Na sinungkun botari na ni alapan arian, Parindahan na suksuk, parlompaan na tabo, Paraluaon na tingkos, paratarias na malo”. Artinya
“Yang terhormat para pemain musik, Batara Guru Humundul, Batara Guru Manguntar. Yang ditanya sore hari dan dijemput sore hari penikmat nasi yang empuk, penikmat lauk yang lezat. Penyampai pesan yang jujur, pemikir yang cerdas. Untaian kalimat di atas menunjukkan makna dari suatu sikap yang menganggap bahwa pargonsi itu setaraf dengan Dewa. Mereka harus selalu disuguhi dengan makanan yang empuk dan lezat, harus dijemput dan diantar kembali bila pergi ke suatu tempat dan mereka itu dianggap mempunyai fikiran yang jujur dan cerdas sehingga dapat menjadi perantara untuk menghubungkan dengan Mulajadi Nabolon.

Akan tetapi sejalan dengan perkembangan zaman, penghargaan kepada pargonsi sudah berubah. Hal ini disebabkan kehadiran musik (suatu sebutan dari masyarakat Batak Toba untuk kelompok brass band) yang menggantikan kedudukan gondang sabangunan sebagai pengiring upacara. Apabila pihak yang terlibat dalam upacara meminta sebuah repertoar, mereka akan menyebut pargonsi kepada dirigen atau pimpinan kelompok musik tersebut. Walaupun kedudukan kelompok musik sama dengan gondang sabangunan dengan menyebut “pargonsi” kepada pemain musik, namun musisi tersebut tidak dapat dianggap sebagai Batara Guru Humundul ataupun Batara Guru Manguntar.

Sikap hormat yang diberikan masyarakat kepada pargonsi bukanlah suatu sikap yang permanen (tetap), tetapi hanya dalam konteks upacara. Di luar konteks upacara, sebutan dan sikap hormat tersebut akan hilang dan pargonsi akan mempunyai kedudukan seperti anggota masyarakat lainnya, ada yang hidup sebagai petani, pedagang, nelayan dan sebagainya.

Sejalan dengan uraian di atas, ada beberapa penulis Batak Toba yang menerangkan sebutan untuk masing-masing instrumen dalam gondang sabangunan. Seperti pasariboe (1938) menuliskan sebagai berikut : oloan bernama simaremare, pangalusi bernama situri-turi, panonggahi bernama situhur tolong, doal bernama sisunggul madam, taganing bernama silima hapusan, gordang bernama sialton sijarungjung dan odap bernama siambaroba. Penulis Batak Toba lainnya, pasaribu (1967) menuliskan taganing bernama pisoridandan, gordang bernama sialtong na begu, odap bernama siambaroba, oloan bernama si aek mual, pangalusi bernama sitapi sindar mataniari, panggora bernama situhur, doal bernama diri mengambat
dan hesek bernama sigaruan nalomlom.

Nama-nama di atas nama yang diberikan oleh pemilik instrumen musik atau pimpinan komunitas musik yang sulit sekali dicari padanannya dalam bahasa Indonesia dan bukan menunjukkan gambaran mengenai superioritas instrumen tersebut. Nama-nama tersebut biasa saja berbeda pada tiap-tiap daerah. Khusus untuk instrumen sarune tidak ditemukan adanya sebutan terhadap instrumen itu.

Cerita Tentang Deang Namora

Perpisahan di Huta Lahi kurang memuaskan Deang Namora. Sewaktu Raja Silahisabungan dan Siraja Tambun berangkat dari Huta Lahi, ia ikut mengantar ketepi pantai. Rupanya Raja Silahisabungan membawa Siraja Tambun ketuktuk Simartaja dan terus ke Nauli Basa untuk memperdalam ilmu Siraja Tambun.

Karena merasa dekat dengan adiknya Si Raja Tambun, Deang Namora terus mengikuti mereka sampai ke Nauli Sibisa, ayahnya membujuk Deang Namora supaya kembali ke kampung Huta Lahi. Pada saat itulah Deang Namora menangis bersenandung yang memilukan hati:” Amang Siraja ibotna, marsirang ma hita ditano Nauli Basa, borhat ma damang tu tano Sibisa. Ahu do na pagodang – godang damang marsiak bagi, sian dakdanak sahat tu doli – doli, mulak ma ahu amang Siraja ibotna tu Huta Lahi, na boha do bagian ni Siboruadi?” katanya sambil melangkah berat hati.

Karena lelahnya berjalan ke Silalahi disertai perasaan sedih, Deang Namora duduk diatas batu melepaskan lelah sambil merenungi perpisahananya dengan siraja Tambun. Pada waktu itu ibotona (saudaranya) sudah mencari – cari Deang Namora. Mereka takut Deang Namora mandele ( putus asa) akibat keberangkatan Siraja Tambun, sewaktu mereka menemukan Deang Namora duduk – duduk diatas batu, lalu diajak supaya pulang kekampung. Tetapi Deang Namora menjawab:” saya sudah merasa senang ditempat ini. Disinilah kalian bangun undung – undungku ( pondok) tempat bertenun.”katanya. saudaranya membujuk dan berkata :” pulanglah dulu kita, supaya dibangun pondokmu, baru bawalah alat–alat tenunmu kemari,” kata saudaranya tanda setuju.

Setelah pondoknya dibangun, Deang Namora membawa alat – alat tenunnya ketempat itu, yang kemudian disebut Batu Parnamoraan. Lama kelamaan Daeng Namora bertenun, terasa sangat besar kerinduannya dengan si Raja Tambun adiknya. Dan pada suatu saat rasa rindunya tidak bisa ditahan lagi, Daeng namora berlari dan menuju Danau, dan terus berjalan sampai ketengah danau, akhirnya Daeng namora tenggelam di dasar danau, Abang-abangnya serta adik adiknya melihat itonya tersebut, tidak sempat menolong itonya, mereka menangis meratapi itonya yang tenggelam di danau tersebut. Dimana Daeng namora berjalan sampai tenggelam terkenallan dengan nama Tao Silalahi artinya Tao na soboi dihabangi lali (Danau yang tidak bisa di sebrangi burung Rajawali) dan disitulah Deang Namora tinggal sampai akhir hayatnya. Dan menjadi keramat yang berkuasa di Tao Silalahi.

Sampai saat ini banyak terdengar kabar dan cerita, bahwa bila seseorang yang hendak menyeberangi tao tersebut tidak boleh membuang kotoran ke dalam danau, atau berbicara kotor, banyak terjadi yang melanggar aturan tersebut, dan banyak kita dengar kabar kapal tenggelam dan setelah di gondangi tujuh hari tujuh malam barulah mayat-mayat orang yang tenggelam muncul kembali.

Karena kejadian inilah anak Bungsu Raja Silahisabungan yaitu Raja Tambun dan seluruh keturunannya sampai sekarang sangat menghormati boru dari pomparan Silahisabungan, dan mereka selalu memanggil ito mereka dengan panggilan Namboru

Bab. VIII. BERITA SI BURSOKRAJA ( OMPU SINAMBANG )

Dalam buku Pusataha Tarigot Taronggo nibang Sobatak ( 1926)yang disusun Demang Waldemar Hutagalung dai Pangururan, dikatakan Si Busokraja adalah putera sulung Sinabang, yang membuat namanya Ompu Sinabang dan kemudian hari menjadi Ompu  Lahisabungan.

Debangraja ( Sidebang = Sinabang ) yang kawin dengan Panamean boru Sagala mempunyai anak laki – laki 4 (empat) orang sampai dewasa keempat anak ini belum dibuat namanya sehingga selalu dipanggil sibursok ( panggilan kepala anak laki – laki sejak lahir ). Bila orangtuanya atau temannya memanggil (Bursok) mereka sama – sama menjawab, sehingga merasa malu dan kesal.

Pada suatu ketika anak sulung Sinabang mengumpulkan adik – adiknya dan berkata :” karena orang tua tidak membuat nama kita, bagaimana kalu masing – masing kita memilih nama, supaya jangan merasa malu melihat teman – teman. Badan kita sudah dewasa tidak pantas lagi dipanggil Sibursok,” katanya. Adiknya mengangguk tanda setuju. Kemudian ia berkata :” kalau kita memilih nama tidak boleh lagi berobah dan kita harus berjanji, dengke ni Sabulan tu tonggina tu tabona, manang ise siose pada tu ripurna tu magona. “ ( barangsiapa yang melanggar janji akan hidup sengsara ).

Setelah mereka seia – sekata mengingat janji, anak sulung menanya nama adik – adiknya. Anak kedua menjawab :” tak mungkin kami lebih dulu punya nama, pantasnya abang anak pertama yang lebih dahulu punya nama,” katanya. Anak sulung itupun berkata :”kalau begitu, baiklah, nama saya Ompu Sinabang,” katanya. Semua adiknya terkejut mendengar pilihan abangnya lalu berkata :”mana mungkin nama ompu Sinabang, sedang ayah kita bernama Debangraja.” Tetapi karena mereka sudah memikat janji, adiknya pasrah menerima dan anak kedua memilih namanya Si Ari, anak ketiga memilih namanya Si Taon, anak keempat memilih namanya Si Badung. Ketiga adiknya merasa cemas memikirkan tidakan orangtuanya kepada abangnya, bila mendengar namanya itu.

Pada malam harinya sewaktu mau makan, ompu Sinabang pura – pura sibuk bermain – main dihalaman rumah. Karena nasi dan lauk pauk telah terhidang, ayahnya menyuruh anaknya memanggil abangnya supaya sama – sama makan. Si Ari memanggil :” Ompu Sinabang ; Mari makan.” Katanya. Tetapi ia pura–pura tidak mendengar, lalu Si Taon dan Si Sidung memanggil :” ayo cepat Ompu Sinabang ! nasi sudah terhidang kata mereka bergantian. Ayah mereka Sidebang Raja terkejut mendengar nama mereka bergantian. Selera makan menjadi hilang, mukanya jadi murung karena pikiran terganggu. Demikian juga ibu boru Sagala merasa tidak enak mendengar panggilan putera sulungnya itu. Ulah siapakah ini ? mungkinkah karena ejekan dari teman – temannya ?

Pada saat itu ayah mereka Debangraja masih menahan emosinya dan termenung memikirkan perbuatan anak – anaknya. Karena setiap memanggil anak sulungnya disebut ( Ompu Sinabang ) maka pada suatu hari Debangraja mengumpulkan anak – anaknya dan berkata :” Ise Mambahen goarmu Ompu Sinebang, ai goarhu do Debangraja, Gabe Marompung ma ahu tu ho ?“ ( Siapa membuat namamu Ompu Sinabang, sedang namaku Sidebangraja, jadi memanggil nenekkah aku kepadamu ? ) katanya dengan nada membentak.

Si Bursokraja ( Ompu Sinebang ) menjawab :” ahu do mamillit goarhu Ompu Sinabang jala dang na mandok asa marompung hamu tu ahu !” ( saya yang memilih namaku Ompu Sinabang dan tak ada maksudku agar ayah memanggil nenek kepadaku ) katanya dengan tegas. Ayahnya debangraja mulai marah dan berkata :” ganti goarmi, molo so diganti ho ndanghuetongbe ho anakku !” ( ganti Namamu itu, dengan nada mengancam. Kemudian Si Bursokraja ( Ompu Sinabang) menjawab :” Nunga marpadan ahu dohot muba,” ( kami sudah berikrar dengan adik – adik ini, nama yang kami pih tidak boleh berubah, bagaimanapun ayah, nama yang kupilih itu tidak akan berubah.) katanya dengan tegas sedikit pun tidak merasa takut.

Dengan emosi ayahnya Dedangraja berdiri lalu berkata :” Laho ma ho sian jolongkon, anak na so hasea do ho. Huetong ma ho tilaha na mate dibuat ngenge, holan anggim na tolu on pe anakhu las ma rohangku.” ( Pergilah kau dari rumah ini, anak durjana kau rupanya. Kuanggap kau yang sudah meninggal  akibat penyakit cacar, dan hanya adikmu yang tiga orang ini pun anakku, berbahagialah aku), katanya  sambil mengusir Si Bursokraja ( Ompu Sinabang ).

Kemudian Si Bursokraja ( Ompu Sinabang ) berdiri mengumpulkan pakaiannya lalu berkata:” Borhat ma au amang , andalu do panduda anduri pamiari. Ndang tarjua amang pandok  ni soro ni ari.”( Berangkatlah saya ayah, sudah begini rupanya suratan badan ).katanya sambil menyalam ibu dan adik- adiknya . Ayahnya Debangaraja berkata dengan tegas :”tuktuk ma pangirmu , dompak mata ni ari , tuntun ma lomom, unang ho sumolsol bagi. Adong do ruma ijuk, panoloti  donasoada, adong do sipaingot pangoloim do na so ada.”( Yah , teruskan tekatmu, jangn kau menyesal nanti, kaena diberi nasehat kau tidak mau menuruti).

Sejak peristiwa ini Si Borsokraja (ompu Sinabang ) pergi melalang buana dan bertekat tidak akan kembali lagi ke Silalahi Nabolak dan akan merahasiakan asal – usulnya kepada keturunannya di kemudian hari . Dia berangkat menuju Balige untuk menjumpai Siraja Bunga – bunga (Siraja Parmahan ) yang telah dinobatkan Tuan Sihubil menjadi anak kesayanga di Hinalang Belige.

Si Borsokraja (Ompu Sinabang) berjalan menepi – nepi pantai menuju Pangururan di pulau Samosir . Setelah ia tiba di Pangururan di dengarnya ada seorang puteri Raja Simbolon yang cantik rupawan dan pandai berperi bahasa dan teka –teki ( marundang – undangan dohot marhuling –hulingan). Mendengar berita itu ia tertarik dan berniat akan mencoba kepandaian puteri raja serta melamarnya.

Si Bursokraja ( ompu Sinabang ) pergi menjumpai puteri raja yang sedang bertenun diatas sopo . dengan membunyikan saga – saga / hodong ( sejenis alat musik ) dia berkata: “Natiniptip sangar mambahen huruhuruan < jumalo sinungkun marga asa binoto partuturan . molo na mariboto dengan do marsijalangan, molo na marpariban denggn do marsihaholongan :”( Dipotong – potong pinpin, dibuat sangkar burung, lebih dahulu tanya marga supaya jelas kerabat penghubunmg. Kalau bersaudara baik jaga bersalaman, kalau putri paman alangkah baiknyamemadu cinta kasih sayang, katanya sambil melihat ke atas sopo itu .

Mendengar tutur kata melalui saga – saga itu, putri raja tercengang dan melihat seorang pemuda datang mendekatinya , tampangnya gagah perkasa menunjukan seorang keturunan raja. Puteri rajapun menjawab dengan saga – saga :”Amang raja doli , na ro manungkum mandiori, ia siboruadi I ma Si Rumandangbulan Si Sindarmataniari , na tong – tong lungun – lungan paima –ima si tuan doli na gabe sirongkap ni tondi , boru ni Simbolontuan na malo manotari. “( yah anak perjaka yang mencari, namaku adalah Si Romundang bulan SiSindarmataniari, yang selalu merindukan pemuda teman sehidup semati, puteri Simbolon tuan yang bijak mentari ) katanya memperkenalkan diri.

Kemudian Si Bursokraja ( Ompu Sinabang ) meperkenalkan dirinya cucu Raja Silahisabungan yang Hidup berkelana mengadu untung di rantau orang dan berkata : “ Sibigo pidong Toba, sitapi-tapi pidong jau, Adung na solot di bagasan roha, tu ise iba mengadu-adu ?” ( Sibigo burung toba, sitapi-tapi burung jauh, ada terselip dalam hati, kepada siapa saya akan mengadu ? ) katanya menyampaikan cinta kasihnya kepada putri raja itu.

Mendengar nama raja Silahisabungan yang terkenal seorang Datu Bolon, Sabungan ni hata, sabungan ni habisuhon, putri raja pun berpikir sejenak dan berkata : “ Molo toho do adong holong diate-ate, denggan ma pasahat tu damang simbolon tuan, alai jumolo lului ma di ahu bagot ni horbo tunggal !”  ( kalau benar dolok tolong di balige, dolok pusukbuhit di Pangururan, kalau benar ada cinta didalam hati sampaikanlah kepada ayah Simbolontuan, tetapi cari dulu untukku susu kerbau jantan ) katanya mencoba keahlian si Bursokraja ( Ompu Sinabang ).

Kemudian si Bursokraja ( Ompu Sinabang ) berpikir bahwa permintaan puteri raja itu adalah teka-teki ( undang-undangan = torkan-torkanan ) lalu menjawab :

“ Mauliate ma boru ni rajanami, sude pangidoanmi luluanku do i, alai paborhat ma tugongku boras ni sirumondang bulan, sidua sangkabona, meam-meam ni dakdanak harosuon ni na magodang !” ( terima kasih putri Raja, semua permintaanmu aka kupenuhi, tapi berikanlah bekalku, buah Sirumondangbulan, yang dua setangkai, permainan anak – anak, kesukaan orang dewasa.) katanya menjawab teka – teki itu.

Puteri Raja itu termenung memikirkan teka – tekinya ( undang – undangannya) sudah terjawab, lalu berkata : “  Molo boti, nangkok ma hamu tu lambunghon, alai unang dege belatuk  ( tangga ) i . “  (Kalau begitu, naiklah kamu kesampingku, tetapi jangan pijak tangga itu ). Katanya mengajak Sibursokraja ( Ompu sinabang ) sambil mencoba keahliannya. Dengan Spontan Si Bursokraja ( Ompu Sinabang ) Membuka Topinya dan berkata :” Tiop Ma tahulup on tanda na marsijalangan kita.” ( peganglah topiku ini tanda kita bersalaman), katanya sambil melemparkan topinya kepada putri raja untuk menjawab teka – teki Putri itu.

Kemudian Putri Raja mempersilahkan Si Bursokraja ( Ompu Sinabang ) naik keatas lalu mereka bersalaman dan berbincang – bincang dengan penuh kemesraan. Setelah beberapa lama mereka berkanalan dan memadu cinta akhirnya mereka kawin yang direstui orang tua Raja Simbolontuan.

Pada Suatu ketika istrinya Sindarmataniari br.Simbolon meminta kepada Ompu Sinabang agar mereka pergi memperkenalkan diri kepada mertuanya di Silalahi Nabolak. Tetapi dijawab Ompu Sinabang dengan halus :” sabarlah dulu menunggu waktu yang tepat,” katanya untuk menyembunyikan Rahasianya. Setelah beberapa kali diajak istrinya dan didesak mertuanya agar mereka pergi menjumpai orangtua di Silalahi Nabolak, akhirnya Ompu Sinabang terpaksa menyetujui dan berkata :” Molo boti jumolo laho ma ahu tu Balige, mandapothon dahahang Siraja Bunga – bunga ( Siraja Parmahan ) asa Adong donganta mandapothon damang !” (Kalau begitu, lebih dulu saya pergi ke Balige, menjumpai abang Siraja Bunga- bunga (Siraja Parmahan) supaya ada teman kita menjumpai ayah !”) katanya berdalih untuk menyembunyikan Rahasinya. Si Sindamataniari br.Simbolon dan mertuanya menyetujui, karena dianggap alas an Si Bursokraja ( Ompu Sinabang ) sangat baik. Berangkatlah Ompu Sinabang.

Pada Saat ompu Sinabang tiba di Muara, rupanya ada terjadi perang diantara Toga Sianturi ( Marga Simatupang ) dengan pihak lain. Setelah Toga Sianturi berkenalan dengan ompu Sinabang, Toga Sianturi meminta bantuan Ompu Sinabang sebagai panglima perang, karena diketahui bahwa ia adalah keturunan Raja Silahisabungan yang terkenal di antara kawan atau musuh. Mendengar panglima perang Toga Sianturi keturunan Raja Silahisabungan, musuhnya pun lari Meninggalkan Muara.

Karena jasa Ompu Sinabang dan untuk menjaga keamanan negeri, Toga Sianturi mengawinkan Putrinya Siboru Anting Haomasan dengan Ompu Sinabang. Toga Sianturi memberikan pauseang kepada menantunya yakni “ Sopo sianting – anting dan mas Sihosari / Mas Siboru lote.”

Pada suatu ketika istrinya Siboru Anting Haomasan meminta agar mereka pergi menjumpai mertuanya di Silalahi Nabolak bersama istrinya Siboru Anting haomasan berangkat meninggalkan Muara. Mereka diberangkatkan Toga Sianturi dari Bontean onon batu dengan Solu Jagaibuar ( perahu besar ) bersama Sopo Sianting – anting di atasnya. Mereka berangkat menuju Silalahi Nabolak melalui tao lontung untuk menjauhio jejak dari Pangururan.

Pada saat mereka berlayar di tao Ambarita, Ompu Sinabang melihat ada orang melambai- lambaikan tangan (manghilap ) seakan – akan  memanggil supaya mereka berlabuh kapantai Ambarita. Rupanya saat itu ada upacara “ Manarsar Lambe “ ( menyembah dewa laut ) yang dilakukan penduduk negeri yang bermaksud mengadakan Horja Sakti Mangalahat Horbo Bius di Ambarita.

Setelah penduduk negeri yang terdiri dri marga Sidabutar, Siallagan dan Rumahorbo ( Keturunan Nai Ambaton ) beserta marga manik keturunan Silauraja berkenalan dengan Ompu Sinabang, maka penduduk berkata :” Nunga sada tua on, ro hamu pomparan ni Raja Bolon, diulaon “ manarsar Lambe. Ala naeng mangalahat horbu bius luat Ambarita on, beha tung dohot hamu di Horja on !” ( sudah satu berkat ini, datang, datang keturunan Raja Besar pada Manarsar lambe ini. Karena akan diadakan pesta besar“ mangalahat Horbo Bius “ di Ambarita ini, bagaimana kalau kalian ikut dalam pesta ini ) kata mereka mengajak Ompu Sinabang dan Istrinya. Ompu Sinabang menjawab dengan rendah hati :” baris – baris ni gaja tu rura Pangaloan, molo mangido raja dae do so oloan, molo so noloan tubu do hamagoan, molo nioloan sai tubu do pangomoan !” ( Permintaan raja tak boleh ditolak ) katanya tanda setuju sambil memberikan pengertian kepada istrinya Siboru Anting Haomasan. Kemudian Ompu Sinabang berkata:” Molo boi jumolo hualap ma boru ni raja i Si Sindarmataniari br.Simbolontuan sian Pangururan asa rap manortor hami di horja on !” ( kalau boleh kujemput dulu puteri raja Si Sindarmataniari br. Simboluntuan dari Pangururan supaya kami sama – sama menari pada pesta ini ) katanya sambil meminta persetujuan istrinya Siboru Anting Haomasan.

Kemudian penduduk negeri keturunan Raja Nai Ambaton berkata :” Na uli ma tutu I, ai Raja ni borunami do hamu  ape. Hunga Singkop be horja sakti on, ai nunga adong Raja ni Hula – hua, Raja ni Dongan tubu dohot Raja ni Boru !” ( sungguh baik sekali, upaya kalian adalah menantu kami. Sudah lengkap pesta besar ini, sudah ada Raja ni Hula – hula, Raja ni Dongan Tubu dan Raja ni Boru) kata Mereka.

Kemudian Ompu Sinabang pergi ke Pangururan menjemput istrinya Sindamataniari br, Simbolon dan membujuk agar ikut ke Ambarita mengikuti Horja Sakti mangallang horbo bius yang dibuat keturunan Raja Nai Ambaton.

Sewaktu Ompu Sinabang merari bersama Istrinya, dibuatnya Si SIndarmataniari br.Simbolon disebelah kanan sedang Siboru  Anting  haomasan br.Simatupang disebelah kirinya. Pada pesta Horja Sakti itu, dinobatkan Ompu Sinabang menjadi Boru Bius dan diberikan Ulos so ra buruk, yairu tano Tolping. Dengan diangkatnya Ompu Sinabang menjadi Boru Bius, maka dengan berbagai upaya dia membujuk kedua istrinya agar tetap tinggal di Tolping lalu berkata :” untuk apa lagi kita pergi ke Silalahi Nabolak, sedang kita sudah ditetapkan menjadi Boru Bius, nanti kita dianggap kurang menghargai pemberian Raja ni Hula – hula,” katanya berdalih supaya rahasianya tertutup.

Ompu Sinabang bersama kedua istrinya akhirnya membuka kampung dan tinggal di Tolping. Setelah hampir satu tahun mereka tinggal di Tolping, kedua istrinyapun mengandung.

Pada suatu hari istrinya Sindamataniari berkata :” kami sudah  sama – sama hamil tua dengan Anting Haomasan, tidak mungkin satu Rumah. Kalau boleh antarkan lah saya ke Pangururan, biar disana aku melahirkan ,” katanya dengan pasrah. Setelah Ompu Sinabang berembuk dengan kedua istrinya maka diantarlah Sindarmataniari ke pengururan.

Baru beberapa hari mereka tinggal di Pangururan lahirlah seorang anak laki – laki. Saat Sindarmataniari melahirkan, tiba pula utusan dari Tolping memberitahukan bahwa Siboru Anting Haomasan telah melahirkan seorang anak laki – laki. Ketika utusan dari Tolping mengajak Ompu Sinabang, ipar (eda ni ) Sindarmataniari berkata:” Jumolo mangan ma hati amang, ai dison pe nunga seorang Si Bursok,” (makanlah dulu kita amang, disini pun sudah lahir SI Bursok) katanya menyambut utusan itu.

Mendengar kata – kata “Sibursok” yang diucapkan besannya (baona), Ompu Sinabang tidak mau makan dan mukanya terlihat murung. Istrinya Sindarmataniari br.Simbolon memperhatikan perilaku suaminya itu lalu berkata :” Boasa ndang mangan hamu, ai aha huroha na hurang ?” ( mengapa kamu tidak makan, apa kiranya yang kurang.) katanya sambil menyodorkan sirih. Ompu Sinabang menjawab dengan teka – teki :” Pantang dohonan ni besan (bao) songon I asa sinur pinahanna!” ( pantang diucapkan besan begitu begitu supaya peliharaannya baik ) katanya sambil mengunyah sirih yang diberikan istrinya.

Istri dan besannya itu saling berpandangan mendengar kata – kata Ompu Sinabang itu. Kemudian utusan dari Tolping itu berbisik :”ra, Sibursok do goar ni amang on, Alana goar ni besan (bao) naso jadi dohonan.” ( mungkin nama amang ini Sibursok, karena nama besan pantang disebutkan) katanya dengan pelan.

Semua yang hadir mengerti dan sejak itu anak yang baru lahir itu disebut “Si Pantang “. Menurut kebiasaan marga Silalahi di Pangururan bila lahir anak laki – laki tidak boleh disebut Sibursok seperti kebiasaan orang batak.

Setelah selasai robu – robua ( tujuh hari tujuh malam ) Ompu Sinabang pergi Tolping dan dijumpainya Siboru Anting Haomasan sedang menyusukan anaknya. Ompu Sinabang kepada istrinya:” Sudah dua orang anakku Laki – Laki, terima kasihlah kepada Mula jadi, kiranya mereka menjadi anak yang bijak bestari,” katanya dengan penuh harapan, mengingat kutukan ayahnya dari Silalahi.

Setelah kedua anaknya itu besar diajarkannya berbagai Ilmu Pencaksilat dan sering diadu pertandingan sepak terjang terjang ( Martada ), ia disebut Martada, maka ia disebut partada. Keturunan Si Pantang tinggal di Pangururan dan keturunan partada tinggal dan memekai marga Silalahi.

Setelah Partada beranak di Tolping, datang pula kesana keturunan Siraja Silahisabungan telah (Manjaee sian Bius Amping, Karena banyak keturunan telah banyak bermukim di Tolping karena keturuannaya telah banyak karena keturunan Raja Silahisabuguan telah banyak bermukim di tolping ) yang disebut Bios Tolping denga Raja tanah pemangku Raja adar :”

1. pande bona ni ari marga Silahoho dai dibisa
2. Pande  Nabolon marga Silalahi dari Sibisa
3. Raja Panuturi marga Silalahi keturunan Partada.
4. Raja Panullang  marga Sigiru dari bukit.

Dengan terbentuknya Bius Tolping maka tanah keturunan Raja Silahisabungan di pulau Samosir “ tano so magotap sian Parbaba sahat tu Tolping.”  Download Tumaras Bab. VIII