Bab. VIII. BERITA SI BURSOKRAJA ( OMPU SINAMBANG )

Dalam buku Pusataha Tarigot Taronggo nibang Sobatak ( 1926)yang disusun Demang Waldemar Hutagalung dai Pangururan, dikatakan Si Busokraja adalah putera sulung Sinabang, yang membuat namanya Ompu Sinabang dan kemudian hari menjadi Ompu  Lahisabungan.

Debangraja ( Sidebang = Sinabang ) yang kawin dengan Panamean boru Sagala mempunyai anak laki – laki 4 (empat) orang sampai dewasa keempat anak ini belum dibuat namanya sehingga selalu dipanggil sibursok ( panggilan kepala anak laki – laki sejak lahir ). Bila orangtuanya atau temannya memanggil (Bursok) mereka sama – sama menjawab, sehingga merasa malu dan kesal.

Pada suatu ketika anak sulung Sinabang mengumpulkan adik – adiknya dan berkata :” karena orang tua tidak membuat nama kita, bagaimana kalu masing – masing kita memilih nama, supaya jangan merasa malu melihat teman – teman. Badan kita sudah dewasa tidak pantas lagi dipanggil Sibursok,” katanya. Adiknya mengangguk tanda setuju. Kemudian ia berkata :” kalau kita memilih nama tidak boleh lagi berobah dan kita harus berjanji, dengke ni Sabulan tu tonggina tu tabona, manang ise siose pada tu ripurna tu magona. “ ( barangsiapa yang melanggar janji akan hidup sengsara ).

Setelah mereka seia – sekata mengingat janji, anak sulung menanya nama adik – adiknya. Anak kedua menjawab :” tak mungkin kami lebih dulu punya nama, pantasnya abang anak pertama yang lebih dahulu punya nama,” katanya. Anak sulung itupun berkata :”kalau begitu, baiklah, nama saya Ompu Sinabang,” katanya. Semua adiknya terkejut mendengar pilihan abangnya lalu berkata :”mana mungkin nama ompu Sinabang, sedang ayah kita bernama Debangraja.” Tetapi karena mereka sudah memikat janji, adiknya pasrah menerima dan anak kedua memilih namanya Si Ari, anak ketiga memilih namanya Si Taon, anak keempat memilih namanya Si Badung. Ketiga adiknya merasa cemas memikirkan tidakan orangtuanya kepada abangnya, bila mendengar namanya itu.

Pada malam harinya sewaktu mau makan, ompu Sinabang pura – pura sibuk bermain – main dihalaman rumah. Karena nasi dan lauk pauk telah terhidang, ayahnya menyuruh anaknya memanggil abangnya supaya sama – sama makan. Si Ari memanggil :” Ompu Sinabang ; Mari makan.” Katanya. Tetapi ia pura–pura tidak mendengar, lalu Si Taon dan Si Sidung memanggil :” ayo cepat Ompu Sinabang ! nasi sudah terhidang kata mereka bergantian. Ayah mereka Sidebang Raja terkejut mendengar nama mereka bergantian. Selera makan menjadi hilang, mukanya jadi murung karena pikiran terganggu. Demikian juga ibu boru Sagala merasa tidak enak mendengar panggilan putera sulungnya itu. Ulah siapakah ini ? mungkinkah karena ejekan dari teman – temannya ?

Pada saat itu ayah mereka Debangraja masih menahan emosinya dan termenung memikirkan perbuatan anak – anaknya. Karena setiap memanggil anak sulungnya disebut ( Ompu Sinabang ) maka pada suatu hari Debangraja mengumpulkan anak – anaknya dan berkata :” Ise Mambahen goarmu Ompu Sinebang, ai goarhu do Debangraja, Gabe Marompung ma ahu tu ho ?“ ( Siapa membuat namamu Ompu Sinabang, sedang namaku Sidebangraja, jadi memanggil nenekkah aku kepadamu ? ) katanya dengan nada membentak.

Si Bursokraja ( Ompu Sinebang ) menjawab :” ahu do mamillit goarhu Ompu Sinabang jala dang na mandok asa marompung hamu tu ahu !” ( saya yang memilih namaku Ompu Sinabang dan tak ada maksudku agar ayah memanggil nenek kepadaku ) katanya dengan tegas. Ayahnya debangraja mulai marah dan berkata :” ganti goarmi, molo so diganti ho ndanghuetongbe ho anakku !” ( ganti Namamu itu, dengan nada mengancam. Kemudian Si Bursokraja ( Ompu Sinabang) menjawab :” Nunga marpadan ahu dohot muba,” ( kami sudah berikrar dengan adik – adik ini, nama yang kami pih tidak boleh berubah, bagaimanapun ayah, nama yang kupilih itu tidak akan berubah.) katanya dengan tegas sedikit pun tidak merasa takut.

Dengan emosi ayahnya Dedangraja berdiri lalu berkata :” Laho ma ho sian jolongkon, anak na so hasea do ho. Huetong ma ho tilaha na mate dibuat ngenge, holan anggim na tolu on pe anakhu las ma rohangku.” ( Pergilah kau dari rumah ini, anak durjana kau rupanya. Kuanggap kau yang sudah meninggal  akibat penyakit cacar, dan hanya adikmu yang tiga orang ini pun anakku, berbahagialah aku), katanya  sambil mengusir Si Bursokraja ( Ompu Sinabang ).

Kemudian Si Bursokraja ( Ompu Sinabang ) berdiri mengumpulkan pakaiannya lalu berkata:” Borhat ma au amang , andalu do panduda anduri pamiari. Ndang tarjua amang pandok  ni soro ni ari.”( Berangkatlah saya ayah, sudah begini rupanya suratan badan ).katanya sambil menyalam ibu dan adik- adiknya . Ayahnya Debangaraja berkata dengan tegas :”tuktuk ma pangirmu , dompak mata ni ari , tuntun ma lomom, unang ho sumolsol bagi. Adong do ruma ijuk, panoloti  donasoada, adong do sipaingot pangoloim do na so ada.”( Yah , teruskan tekatmu, jangn kau menyesal nanti, kaena diberi nasehat kau tidak mau menuruti).

Sejak peristiwa ini Si Borsokraja (ompu Sinabang ) pergi melalang buana dan bertekat tidak akan kembali lagi ke Silalahi Nabolak dan akan merahasiakan asal – usulnya kepada keturunannya di kemudian hari . Dia berangkat menuju Balige untuk menjumpai Siraja Bunga – bunga (Siraja Parmahan ) yang telah dinobatkan Tuan Sihubil menjadi anak kesayanga di Hinalang Belige.

Si Borsokraja (Ompu Sinabang) berjalan menepi – nepi pantai menuju Pangururan di pulau Samosir . Setelah ia tiba di Pangururan di dengarnya ada seorang puteri Raja Simbolon yang cantik rupawan dan pandai berperi bahasa dan teka –teki ( marundang – undangan dohot marhuling –hulingan). Mendengar berita itu ia tertarik dan berniat akan mencoba kepandaian puteri raja serta melamarnya.

Si Bursokraja ( ompu Sinabang ) pergi menjumpai puteri raja yang sedang bertenun diatas sopo . dengan membunyikan saga – saga / hodong ( sejenis alat musik ) dia berkata: “Natiniptip sangar mambahen huruhuruan < jumalo sinungkun marga asa binoto partuturan . molo na mariboto dengan do marsijalangan, molo na marpariban denggn do marsihaholongan :”( Dipotong – potong pinpin, dibuat sangkar burung, lebih dahulu tanya marga supaya jelas kerabat penghubunmg. Kalau bersaudara baik jaga bersalaman, kalau putri paman alangkah baiknyamemadu cinta kasih sayang, katanya sambil melihat ke atas sopo itu .

Mendengar tutur kata melalui saga – saga itu, putri raja tercengang dan melihat seorang pemuda datang mendekatinya , tampangnya gagah perkasa menunjukan seorang keturunan raja. Puteri rajapun menjawab dengan saga – saga :”Amang raja doli , na ro manungkum mandiori, ia siboruadi I ma Si Rumandangbulan Si Sindarmataniari , na tong – tong lungun – lungan paima –ima si tuan doli na gabe sirongkap ni tondi , boru ni Simbolontuan na malo manotari. “( yah anak perjaka yang mencari, namaku adalah Si Romundang bulan SiSindarmataniari, yang selalu merindukan pemuda teman sehidup semati, puteri Simbolon tuan yang bijak mentari ) katanya memperkenalkan diri.

Kemudian Si Bursokraja ( Ompu Sinabang ) meperkenalkan dirinya cucu Raja Silahisabungan yang Hidup berkelana mengadu untung di rantau orang dan berkata : “ Sibigo pidong Toba, sitapi-tapi pidong jau, Adung na solot di bagasan roha, tu ise iba mengadu-adu ?” ( Sibigo burung toba, sitapi-tapi burung jauh, ada terselip dalam hati, kepada siapa saya akan mengadu ? ) katanya menyampaikan cinta kasihnya kepada putri raja itu.

Mendengar nama raja Silahisabungan yang terkenal seorang Datu Bolon, Sabungan ni hata, sabungan ni habisuhon, putri raja pun berpikir sejenak dan berkata : “ Molo toho do adong holong diate-ate, denggan ma pasahat tu damang simbolon tuan, alai jumolo lului ma di ahu bagot ni horbo tunggal !”  ( kalau benar dolok tolong di balige, dolok pusukbuhit di Pangururan, kalau benar ada cinta didalam hati sampaikanlah kepada ayah Simbolontuan, tetapi cari dulu untukku susu kerbau jantan ) katanya mencoba keahlian si Bursokraja ( Ompu Sinabang ).

Kemudian si Bursokraja ( Ompu Sinabang ) berpikir bahwa permintaan puteri raja itu adalah teka-teki ( undang-undangan = torkan-torkanan ) lalu menjawab :

“ Mauliate ma boru ni rajanami, sude pangidoanmi luluanku do i, alai paborhat ma tugongku boras ni sirumondang bulan, sidua sangkabona, meam-meam ni dakdanak harosuon ni na magodang !” ( terima kasih putri Raja, semua permintaanmu aka kupenuhi, tapi berikanlah bekalku, buah Sirumondangbulan, yang dua setangkai, permainan anak – anak, kesukaan orang dewasa.) katanya menjawab teka – teki itu.

Puteri Raja itu termenung memikirkan teka – tekinya ( undang – undangannya) sudah terjawab, lalu berkata : “  Molo boti, nangkok ma hamu tu lambunghon, alai unang dege belatuk  ( tangga ) i . “  (Kalau begitu, naiklah kamu kesampingku, tetapi jangan pijak tangga itu ). Katanya mengajak Sibursokraja ( Ompu sinabang ) sambil mencoba keahliannya. Dengan Spontan Si Bursokraja ( Ompu Sinabang ) Membuka Topinya dan berkata :” Tiop Ma tahulup on tanda na marsijalangan kita.” ( peganglah topiku ini tanda kita bersalaman), katanya sambil melemparkan topinya kepada putri raja untuk menjawab teka – teki Putri itu.

Kemudian Putri Raja mempersilahkan Si Bursokraja ( Ompu Sinabang ) naik keatas lalu mereka bersalaman dan berbincang – bincang dengan penuh kemesraan. Setelah beberapa lama mereka berkanalan dan memadu cinta akhirnya mereka kawin yang direstui orang tua Raja Simbolontuan.

Pada Suatu ketika istrinya Sindarmataniari br.Simbolon meminta kepada Ompu Sinabang agar mereka pergi memperkenalkan diri kepada mertuanya di Silalahi Nabolak. Tetapi dijawab Ompu Sinabang dengan halus :” sabarlah dulu menunggu waktu yang tepat,” katanya untuk menyembunyikan Rahasianya. Setelah beberapa kali diajak istrinya dan didesak mertuanya agar mereka pergi menjumpai orangtua di Silalahi Nabolak, akhirnya Ompu Sinabang terpaksa menyetujui dan berkata :” Molo boti jumolo laho ma ahu tu Balige, mandapothon dahahang Siraja Bunga – bunga ( Siraja Parmahan ) asa Adong donganta mandapothon damang !” (Kalau begitu, lebih dulu saya pergi ke Balige, menjumpai abang Siraja Bunga- bunga (Siraja Parmahan) supaya ada teman kita menjumpai ayah !”) katanya berdalih untuk menyembunyikan Rahasinya. Si Sindamataniari br.Simbolon dan mertuanya menyetujui, karena dianggap alas an Si Bursokraja ( Ompu Sinabang ) sangat baik. Berangkatlah Ompu Sinabang.

Pada Saat ompu Sinabang tiba di Muara, rupanya ada terjadi perang diantara Toga Sianturi ( Marga Simatupang ) dengan pihak lain. Setelah Toga Sianturi berkenalan dengan ompu Sinabang, Toga Sianturi meminta bantuan Ompu Sinabang sebagai panglima perang, karena diketahui bahwa ia adalah keturunan Raja Silahisabungan yang terkenal di antara kawan atau musuh. Mendengar panglima perang Toga Sianturi keturunan Raja Silahisabungan, musuhnya pun lari Meninggalkan Muara.

Karena jasa Ompu Sinabang dan untuk menjaga keamanan negeri, Toga Sianturi mengawinkan Putrinya Siboru Anting Haomasan dengan Ompu Sinabang. Toga Sianturi memberikan pauseang kepada menantunya yakni “ Sopo sianting – anting dan mas Sihosari / Mas Siboru lote.”

Pada suatu ketika istrinya Siboru Anting Haomasan meminta agar mereka pergi menjumpai mertuanya di Silalahi Nabolak bersama istrinya Siboru Anting haomasan berangkat meninggalkan Muara. Mereka diberangkatkan Toga Sianturi dari Bontean onon batu dengan Solu Jagaibuar ( perahu besar ) bersama Sopo Sianting – anting di atasnya. Mereka berangkat menuju Silalahi Nabolak melalui tao lontung untuk menjauhio jejak dari Pangururan.

Pada saat mereka berlayar di tao Ambarita, Ompu Sinabang melihat ada orang melambai- lambaikan tangan (manghilap ) seakan – akan  memanggil supaya mereka berlabuh kapantai Ambarita. Rupanya saat itu ada upacara “ Manarsar Lambe “ ( menyembah dewa laut ) yang dilakukan penduduk negeri yang bermaksud mengadakan Horja Sakti Mangalahat Horbo Bius di Ambarita.

Setelah penduduk negeri yang terdiri dri marga Sidabutar, Siallagan dan Rumahorbo ( Keturunan Nai Ambaton ) beserta marga manik keturunan Silauraja berkenalan dengan Ompu Sinabang, maka penduduk berkata :” Nunga sada tua on, ro hamu pomparan ni Raja Bolon, diulaon “ manarsar Lambe. Ala naeng mangalahat horbu bius luat Ambarita on, beha tung dohot hamu di Horja on !” ( sudah satu berkat ini, datang, datang keturunan Raja Besar pada Manarsar lambe ini. Karena akan diadakan pesta besar“ mangalahat Horbo Bius “ di Ambarita ini, bagaimana kalau kalian ikut dalam pesta ini ) kata mereka mengajak Ompu Sinabang dan Istrinya. Ompu Sinabang menjawab dengan rendah hati :” baris – baris ni gaja tu rura Pangaloan, molo mangido raja dae do so oloan, molo so noloan tubu do hamagoan, molo nioloan sai tubu do pangomoan !” ( Permintaan raja tak boleh ditolak ) katanya tanda setuju sambil memberikan pengertian kepada istrinya Siboru Anting Haomasan. Kemudian Ompu Sinabang berkata:” Molo boi jumolo hualap ma boru ni raja i Si Sindarmataniari br.Simbolontuan sian Pangururan asa rap manortor hami di horja on !” ( kalau boleh kujemput dulu puteri raja Si Sindarmataniari br. Simboluntuan dari Pangururan supaya kami sama – sama menari pada pesta ini ) katanya sambil meminta persetujuan istrinya Siboru Anting Haomasan.

Kemudian penduduk negeri keturunan Raja Nai Ambaton berkata :” Na uli ma tutu I, ai Raja ni borunami do hamu  ape. Hunga Singkop be horja sakti on, ai nunga adong Raja ni Hula – hua, Raja ni Dongan tubu dohot Raja ni Boru !” ( sungguh baik sekali, upaya kalian adalah menantu kami. Sudah lengkap pesta besar ini, sudah ada Raja ni Hula – hula, Raja ni Dongan Tubu dan Raja ni Boru) kata Mereka.

Kemudian Ompu Sinabang pergi ke Pangururan menjemput istrinya Sindamataniari br, Simbolon dan membujuk agar ikut ke Ambarita mengikuti Horja Sakti mangallang horbo bius yang dibuat keturunan Raja Nai Ambaton.

Sewaktu Ompu Sinabang merari bersama Istrinya, dibuatnya Si SIndarmataniari br.Simbolon disebelah kanan sedang Siboru  Anting  haomasan br.Simatupang disebelah kirinya. Pada pesta Horja Sakti itu, dinobatkan Ompu Sinabang menjadi Boru Bius dan diberikan Ulos so ra buruk, yairu tano Tolping. Dengan diangkatnya Ompu Sinabang menjadi Boru Bius, maka dengan berbagai upaya dia membujuk kedua istrinya agar tetap tinggal di Tolping lalu berkata :” untuk apa lagi kita pergi ke Silalahi Nabolak, sedang kita sudah ditetapkan menjadi Boru Bius, nanti kita dianggap kurang menghargai pemberian Raja ni Hula – hula,” katanya berdalih supaya rahasianya tertutup.

Ompu Sinabang bersama kedua istrinya akhirnya membuka kampung dan tinggal di Tolping. Setelah hampir satu tahun mereka tinggal di Tolping, kedua istrinyapun mengandung.

Pada suatu hari istrinya Sindamataniari berkata :” kami sudah  sama – sama hamil tua dengan Anting Haomasan, tidak mungkin satu Rumah. Kalau boleh antarkan lah saya ke Pangururan, biar disana aku melahirkan ,” katanya dengan pasrah. Setelah Ompu Sinabang berembuk dengan kedua istrinya maka diantarlah Sindarmataniari ke pengururan.

Baru beberapa hari mereka tinggal di Pangururan lahirlah seorang anak laki – laki. Saat Sindarmataniari melahirkan, tiba pula utusan dari Tolping memberitahukan bahwa Siboru Anting Haomasan telah melahirkan seorang anak laki – laki. Ketika utusan dari Tolping mengajak Ompu Sinabang, ipar (eda ni ) Sindarmataniari berkata:” Jumolo mangan ma hati amang, ai dison pe nunga seorang Si Bursok,” (makanlah dulu kita amang, disini pun sudah lahir SI Bursok) katanya menyambut utusan itu.

Mendengar kata – kata “Sibursok” yang diucapkan besannya (baona), Ompu Sinabang tidak mau makan dan mukanya terlihat murung. Istrinya Sindarmataniari br.Simbolon memperhatikan perilaku suaminya itu lalu berkata :” Boasa ndang mangan hamu, ai aha huroha na hurang ?” ( mengapa kamu tidak makan, apa kiranya yang kurang.) katanya sambil menyodorkan sirih. Ompu Sinabang menjawab dengan teka – teki :” Pantang dohonan ni besan (bao) songon I asa sinur pinahanna!” ( pantang diucapkan besan begitu begitu supaya peliharaannya baik ) katanya sambil mengunyah sirih yang diberikan istrinya.

Istri dan besannya itu saling berpandangan mendengar kata – kata Ompu Sinabang itu. Kemudian utusan dari Tolping itu berbisik :”ra, Sibursok do goar ni amang on, Alana goar ni besan (bao) naso jadi dohonan.” ( mungkin nama amang ini Sibursok, karena nama besan pantang disebutkan) katanya dengan pelan.

Semua yang hadir mengerti dan sejak itu anak yang baru lahir itu disebut “Si Pantang “. Menurut kebiasaan marga Silalahi di Pangururan bila lahir anak laki – laki tidak boleh disebut Sibursok seperti kebiasaan orang batak.

Setelah selasai robu – robua ( tujuh hari tujuh malam ) Ompu Sinabang pergi Tolping dan dijumpainya Siboru Anting Haomasan sedang menyusukan anaknya. Ompu Sinabang kepada istrinya:” Sudah dua orang anakku Laki – Laki, terima kasihlah kepada Mula jadi, kiranya mereka menjadi anak yang bijak bestari,” katanya dengan penuh harapan, mengingat kutukan ayahnya dari Silalahi.

Setelah kedua anaknya itu besar diajarkannya berbagai Ilmu Pencaksilat dan sering diadu pertandingan sepak terjang terjang ( Martada ), ia disebut Martada, maka ia disebut partada. Keturunan Si Pantang tinggal di Pangururan dan keturunan partada tinggal dan memekai marga Silalahi.

Setelah Partada beranak di Tolping, datang pula kesana keturunan Siraja Silahisabungan telah (Manjaee sian Bius Amping, Karena banyak keturunan telah banyak bermukim di Tolping karena keturuannaya telah banyak karena keturunan Raja Silahisabuguan telah banyak bermukim di tolping ) yang disebut Bios Tolping denga Raja tanah pemangku Raja adar :”

1. pande bona ni ari marga Silahoho dai dibisa
2. Pande  Nabolon marga Silalahi dari Sibisa
3. Raja Panuturi marga Silalahi keturunan Partada.
4. Raja Panullang  marga Sigiru dari bukit.

Dengan terbentuknya Bius Tolping maka tanah keturunan Raja Silahisabungan di pulau Samosir “ tano so magotap sian Parbaba sahat tu Tolping.”  Download Tumaras Bab. VIII

2 Tanggapan

  1. Horas tulang…
    ijin masiajar sian blog ni tulang on
    Mauliate

Tinggalkan komentar